Mampukah??

325 30 23
                                    

Author: Qhariesta

...

"Terimakasih untuk hari ini Dava!" Ve tersenyum pada Dava yang mengangguk pelan.
"Hari ini aku bahagia banget, cumaa kamu Dav, yang bisa ngehibur aku kayak gini.'
wajah gadis itu tampak ceria dan bersemangat.
tak henti-hentinya ia menebar senyum pada pemuda didepannya.

Dava mengacak poni Ve gemas. "Jangan berlebihan, aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai sahabatmu." berganti ia mencubit pelan pipi putih Ve.

"Jangan terlalu baik sama aku Dav, semakin sulit aku membayar semuanya." Ve menjauhkan tangan pemuda itu yang masih berlabuh dipipinya. 'Kamu mau jadi sahabat aku ajah, ini adalah sebuah anugrah."

"Vega!"
Dava meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya begitu erat.

untuk beberapa detik, jantung gadis itu berhenti berdetak.
ia menutup matanya dan mendengarkan setiap kata yang diucapkan Dava.

"Kamu baik Vega, disaat Dira menjatuhkanku, cuma kamu yang selalu menyemangatiku untuk kembali bangkit."
Dava mengatur nafasnya pelan, sebelum ia kembali bicara.
'sebelum lo datang sebagai murid baru, asal lo tau, gue selalu menjadi bullian Dira, satu sekolah memandang Dira positif dan berbalik memandang gue negatif." dilepasnya jemari tangan Ve berlahan.

Ve membuka matanya, terdiam menatap kedua mata Dava yang memancarkan satu kesedihan.
"Dava!"

'Tapi saat lo hadir, hidup gue kembali berwarna, menjadi sahabat lo adalah sesuatu yang terindah dalam hidup gue, cuma lo satu-satunya penyemangat gue disekolah." Dava menundukkan wajahnya pelan. "Gak salah kalau gue jatuh cinta sama bidadari yang tuhan kirim buat gue."
pemuda itu masih enggan mengangkat wajahnya.

'Dava!" suara lembut itu menyapanya.
"Aku bukan bidadari yang tuhan kirim buat kamu." ve berkata pelan, ia tak ingin melukai hati pemuda itu untuk kesekian kalinya.

"Lalu untuk siapa?' Dava mengangkat wajahnya dan tersenyum sinis pada Ve yang berdiri didepannya. "Untuk Dira, itu maksudmu?" pemuda itu menekan suaranya, membuat tubuh gadis itu seketika bergetar.

Ve terdiam, saat Dava meremas kedua lengan kurusnya, wajah pemuda itu tak biasa, matanya memerah, buka karena menahan tangis tapi justru menahan amarah.
'Dava!"
ia mencoba berontak dari cengkraman pemuda itu yang semakin keras.

"Aku mencintaimu Vega!' pemuda itu berbisik ditelingan kanan Ve, tak peduli seberapa kuatnya gadis itu mencoba menepis. 'Seharusnya yang lo cintai itu gue!"

"Dava cukup!"
sekuat tenaga, gadis itu mencoba melepas cengraman Dava, setelah berhasil ve mendorong tubuh Dava menjauh, "Kamu.. kamu berubah.."
suara terdengar bergetar, airmatapun seketika mengalir dipipi gadis itu. 'kamu bukan Dava sahabat aku." ia berjongkok dan menutup wajahnya disela-sela lututnya, bahunya bergetar, ia menangis.


Dava tersenyum sinis, 'Dava sahabat lo udah mati!' ia mendekat pada Ve yang masih menangis.
'Cintai gue Ve, seperti lo mencintai Dira, walau Cuma sedetik!" ia berjongkok didepan Vega yang menaikkan wajahnya perlahan menatap Dava.

Kemudian gadis itu menggeleng. "aku gak bisa." Ia menghapus airmatanya sendiri, "kalau ajah aku bisa Dav, aku mau ngelupain Dira dan mencintai kamu, tapi ini cinta bukan Drama." Ve menarik nafasnya sejenak. 'Aku gak mungkin bohongin perasaan aku."

Dava terduduk lemas didepan Ve, ia mencoba tersenyum pelan. "Maaf!"

Ve melebarkan matanya, " untuk apa?" ia menatap Dava dalam, saat ini ia menemukan satu keterpurukan dikedua mata sang sahabat. Ve menatap Dava yang terdiam didepannya, mata pemuda itupun mulai berkaca-kaca. "Dava, apa yang terjadi?'
Ve tau, ada sesuatu yang tak baik dari sahabatnya saat ini, perasaan khawatirpun seakan datang menerpanya.

Dava menarik nafasnya panjang, sebelum ia mengeluarkan suaranya. "Lo tau, siapa yang udah donorin jantungnya buat Dira?" pemuda itu menatap tajam Ve yang mengangguk.

"Yah, setau aku orang itu adalah bundanya Dira sendiri."

Dava tersenyum perih mendengar jawaban gadis itu. 'Bukan, bukan dia."

Ve tersentak, matanya membesar sempurna, "kalau bukan dia terus siapa?" tanya gadis itu resah.

Tak ada jawaban dari bibir pemuda itu, ve menangkap satu arti, "Dava, bukan kamukan orangnya?" ia menatap Dava yang tersenyum.

Dava berdiri dan membelakangi Ve yang juga berdiri. "Kalaupun aku orangnya, itu gak akan ngaruh buat kamu, yang terpenting cowok yang kamu cintai bisa hidup lebih lama."

"Dava!" Ve memutar tubuh Dava keras, hingga keduanya saling berhadapan. 'Jawab yang jujur, aku mohon!"

Untuk kesekian kalinya, pemuda itu menampakkan senyum pedihnya. Perlahan pemuda itu mengangguk. "Aku Cuma ingin membalas utang Dira yang udah rela nyumbangin darahnya buat aku."
Ve terdiam tak percaya, hatinya seakan sakit dan terluka mengetahui semuanya.
Airmtapun kembali membasahi pipi putihnya.

"Ve, kalaupun aku mati, kamu Cuma kehilangan sahabat, bukan orang yang kamu cintai.'

PLAK!

Dava terdiam saat Ve manamparnya, ia menunduk saat gadis itu mulai bersuara.

"Dava, aku memang mencintai Dira, tapi bukan berarti kamu gak ada artinya buat aku!' Ve mulai melampiaskan emosinya.
"Harusnya kamu tau Dav, siapa yang begitu berarti buat aku," suaranya mulai terdengar bergetar.
"Kamu Dava, Kamu."

Dava terdiam.

Ve kembali bicara. "Kamu memang sahabat aku, aku emang gak pernah mencintai kamu, tapi asal kamu tau, kamu satu-satu orang yang sangat berarti buat aku, melebihi rasa cinta aku sama Dira."
Ve manatap langit2 malam, mencoba menepis airmata yang sebentar lagi akan turun.
"Kalaupun aku diharuskan memilih antara kamu atau Dira, udah pasti Dav, aku milih kamu sahabat aku."

"Ve..."

DivarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang