[][][]
"Jadi gimana, Bang? Buruan... jangan kelamaan mikir." Desak seseorang di seberang, yang sedang berkomunikasi dengan Aron via telepon.
"Terserah." Jawab Aron yang pada akhirnya memasrahkan diri pada keadaan.
"Yes! Dua jam lagi gue sampai di sana! Bye, Bang! Love you!" Sambungan diputus.
"Sialan lo, Bima." Umpat Aron kesal. Ia menaruh ponselnya ke sudut sofa dengan sedikit melempar. Lantas menyelonjorkan kaki dan menyandarkan kepala pada kepala sofa.
"Dia siapa sih?" Tanya Shyla penasaran. Sedikit merasa risih dengan sikap sekenanya laki-laki yang menelepon sang kekasih.
"Bima, adik sepupu aku."
"Katanya dia mau ke sini." Aron mematikan laptop, kemudian berbaring di sofa yang ia duduki dengan paha Shyla sebagai bantalnya.
"Kakak nggak jadi minum teh?" Tepat saat pertanyaan Shyla berakhir, mata Aron sudah terpejam dengan damai. Itu salah satu tabiat Aron. Jika sudah berada di tempat yang menurutnya nyaman, ia pasti akan mudah tertidur. Dan berada di dekat Shyla adalah hal yang paling nyaman bagi Aron. Tak ingin menganggu tidur Aron, Shyla memilih menonton drama Korea yang setiap malam selalu ia tunggu, yang selalu berhasil menguras air matanya.
Likuid bening itu sudah berkumpul di sudut-sudut mata. Sebelum sempat mengalir, Shyla meraih tisu yang terletak di atas meja. Tanda-tanda air mata akan menetes mulai terasa. Dengan sigap Shyla meletakkan tisunya di bawah mata. Sialnya, keadaan yang dramatis terinterupsi oleh suara bel. Shyla berdecak kesal karena seseorang itu sudah mengganggu saat-saat mengharukan dari drama yang ia tonton. Gadis itu sangat lunak, mudah sekali tersentuh. Air mata yang tadinya berkumpul seketika menyurut. Dengan malas Shyla berjalan membuka pintu setelah sebelumnya memindahkan kepala Aron ke atas sofa. Sebelum membuka pintu, Shyla terlebih dahulu mengintip dari lubang intercom, antisipasi jika ada orang berniat buruk mendatangi apartemen mereka.
Lelaki asing. Dengan kewaspadaan tingkat tinggi, perlahan Shyla membuka pintu. "Cari siapa?" Tanyanya pada lelaki berkulit pucat di hadapan, hanya dengan kepala yang sedikit menyembul di balik pintu.
Si lelaki asing menghidupkan ponselnya. Entah apa yang dilakukan lelaki itu terhadap ponselnya Shyla tidak tahu. Laki-laki itu mengamati ponselnya lekat-lekat, lalu gantian mengamati Shyla.
"Dari alamat yang gue dapat, ini alamatnya bang Aron. Lo yang kerja di sini ya? Lo yang ngurus apartemen ini?" Tanya Bima polos. Kepolosannya ternyata malah menyulut api amarah Shyla. Secara tidak langsung Bima mengatakan bahwa dirinya asisten rumah tangga Aron.
Shyla membuka pintu lebih lebar. Berdiri di depan Bima sembari berkacak pinggang. "Jangan asal bicara lo ya! Gue ini calon istri Aron!"
"Pft!" Bima menutup mulut menahan tawa. "Harusnya lo yang jangan asal bicara. Aron itu abang gue. Gak mungkin lah dia mau nikahin anak kecil kayak kamu. Kecuali kalau otaknya udah lo cuci."
"Kita emang mau nikah, tau! Kalau gue udah tamat ntar!" Sungut Shyla.
"Ck. Apalagi lo nggak berpendidikan, mana mau bang Aron nikahin lo. Dia pasti lebih milih cewek yang lebih dewasa ketimbang anak kecil kayak lo."
"Nyebelin!"
Bedebam!
Pintu apartemen dihempas kuat oleh Shyla. Saking kuatnya, membuat rambut Bima bergerak acak terkena tiupan angin dari hempasan pintu. Aron terlonjak kaget. Suara debamannya cukup keras menghentak gendang telinga, berhasil membangunkannya. Aron menoleh pada Shyla yang mendengus kasar di sebelahnya seraya bersidekap sebal.

KAMU SEDANG MEMBACA
That CEO
Romance- 𝐓𝐡𝐚𝐭 𝐂𝐄𝐎 - Entah dari mana asal mulanya, Diego bisa menaruh hati pada sekretarisnya yang super galak. Bahkan rasanya Diego bisa memberi wanita itu cap singa betina. Beribu cara Diego kerahkan hanya untuk mendapatkan secuil perhatian seorang...