Setelah pertukaran nomor ponsel itu dua hari yang lalu, Alan tidak menghubungiku sama sekali. Aku sedikit kecewa sebenarnya. Mungkin karena rencana bereksperimen bersama yang sepertinya tidak akan terealisasikan.
"Hei, liat! Bapak kimia itu benar-benar!" seru Angel geram. Aku dan Sabrina lantas saja menoleh ke arahnya yang tengah memegang sebuah kertas jawaban.
"Aku bahkan sudah lihat ke buku, tapi kenapa hasilnya tetap sama?! Masih dibawah lima puluh!"
"Kamu sudah dapat hasilnya? Darimana? Kenapa aku belum dapat?" tanya Sabrina keluar dari topik.
"Dapat dari Rizal barusan," jawab Angel malas-malasan. Seketika, Sabrina bangkit dari kursinya dan pergi menghampiri Rizal yang tengah berkumpul bersama gerombolannya.
Aku menatap Angel lekat. "Coba sini aku lihat!" Ia lantas memberikan kertas jawaban kimia itu kepadaku dengan gerakan yang kasar.
Selagi aku mengamati jawabannya, Angel kembali berceloteh.
"Kenapa aku harus masuk kelas IPA, sih?! Aku bingung. Padahal, semua nilai eksakku di rapot saja selisih satu-dua angka dengan KKM-nya. Apa guru BK kita dulu tengah mabuk saat melihat hasil test IQ milikku dulu?"
Aku mengabaikannya. Alih-alih membalas celotehannya, aku mengomentari jawabannya, "Lihat soal yang ini." Aku menunjuk soal nomor 2. "di sini, jelas sekali diminta untuk menulis rumusnya. Bukan ini jawabannya! Kamu yakin tidak hafal rumus alkena?"
Angel merebut kertas miliknya dengan kasar dari tanganku. "Jangan tanya hal itu! Aku bahkan sama sekali tidak tau apa itu alkena. Yang aku tau itu hanya Alena!"
Aku memutar kedua bola mataku jengah. Sudah. Kalau seperti itu jawabannya, mau aku bantu bagaimana caranya pun sudah pasti tidak akan berhasil. Dianya saja tidak mau membahas soal perbaikannya sendiri.
"Aku muak dengan ini! Kenapa harus ada pelajaran kimia di dunia ini, sih?! Siapa yang mencetuskan kimia?! Buat orang lain kesusahan saja!"
Lagi-lagi, Angel mengomel. Dengan cepat dan tanpa dapat kuduga sebelumnya, ia merobek kertas hasil ulangan perbaikannya itu menjadi beberapa bagian kecil. Aku terpekik pelan. Lalu, di depan kelas sana, Tian berseru memberi pengumuman.
"YANG NILAINYA MASIH TIDAK MEMENUHI, LUSA DITUNGGU DI KANTOR GURU UNTUK PERBAIKAN ULANG. AH, DAN JANGAN LUPA BAWA KERTAS PERBAIKAN SEBELUMNYA. KERTAS YANG BARU DIBAGIKAN HARI INI."
Angel menjerit sebal. "Persetan! Aku tidak akan ikut perbaikan lagi!"
"YANG TIDAK IKUT PERBAIKAN LUSA, DIWAJIBKAN MEMBUAT SATU EKSPERIMEN YANG BERKAITAN DENGAN MATERI SAAT INI! PERORANGAN!"
Lagi-lagi, Angel menjerit. Kali ini lebih kencang dan terdengar putus asa.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa kulakukan hanyalah menepuk pundaknya pelan. Mencoba menenangkannya yang terlihat frustasi.
***
Sabrina tertawa dengan tak tertahankan begitu mendengar ceritaku tentang apa yang baru saja Angel alami di kelas tadi. Ia bahkan tak bisa memakan mie baksonya dengan benar.
Angel yang sebal kemudian menggulung tisu dengan asal dan menyumpalkannya ke mulut Sabrina.
"Brisik!"
Sabrina tersedak pelan. Matanya menatap nyalang ke arah Angel begitu berhasil mengeluarkan sumpalan tisu di mulutnya.
"Sudah sudah.... Hentikan!" seruku mencoba menghentikan tingkah laku mereka yang mulai dirasa tak aman. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya Angel? Kamu mau ikut perbaikan lagi atau memilih untuk bereksperimen?" tanyaku kemudian pada Angel.
Ia menggedikkan kedua bahu. "Entah! Aku tidak sepintar itu untuk melakukan keduanya."
"Tapi kamu harus, Angel!" seru Sabrina gemas.
"Kamu sendiri? Bagaimana?" Angel balik bertanya pada Sabrina. Sabrina menyuapkan baksonya sebelum menjawab, "Jelas sekali. Aku lebih pilih perbaikan ulang."
"Dan kalau diulang kembali, bagaimana?" tanya Angel lagi. Sabrina menggeleng. "Tidak akan."
Aku mengernyit begitupula Angel. "Tidak biasanya kamu se-optimis ini pada pelajaran kimia. Yakin sekali kamu!"
Sabrina lagi-lagi menatap nyalang Angel yang terkesan meragukannya. "Hei! Apa salahnya aku optimis di pelajaran kimia?!"
"Tidak," jawab Angel acuh tak acuh. "hanya saja, itu terdengar seperti bukan kamu. Sama sekali," lanjutnya lagi.
Kedua bahu Sabrina yang semula tegak kini terkulai lemas. "Aku bukannya optimis seperti yang kamu pikir."
"Lalu?" tanyaku penasaran.
"Bapak kimia sendiri yang bilang bahwa itu adalah perbaikan yang terakhir. Bila masih tidak melampaui KKM, nilai di rapot akan pas dengan KKM-nya," terangnya. Angel tersenyum cerah.
"Itu bagus! Setidaknya, nilaiku akan baik-baik saja. Aku kini sudah memutuskan! Aku akan ikut perbaikan, lagi!" seru Angel ceria.
"Ya. Bersenanglah untuk kamu, Angel!" Sabrina berucap lesu.
Aku tau apa masalahnya. Tapi mungkin, Angel tidak mengerti. Jadi, aku memberikan Sabrina elusan di bahu.
"Aku akan ajarkan kalian. Setidaknya, mungkin akan sedikit membantu. Itupun kalau kalian ingin."
Keduanya saling bertatapan sebelum akhirnya mengangguk pelan. Terlihat sedikit ragu namun aku mengabaikannya. Malahan, aku tersenyum senang.
"Kenapa kalian baru menerima bantuanku sekarang?"
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragiko [SEASON 2]
RomanceSeason 1 [FINISH] Season 2 [DISCONTINUED for some reasons] ••• Tragikó/adj causing or characterized by extreme distress or sorrow. ••• Mungkin seharusnya, kita tidak usah bertemu bila itu hanya menimbulkan luka yang bahkan hingga kini masih terasa...