28th page

84 14 4
                                    

Aku memasuki kelas diiringi dengan pandangan milik Angel dan juga Sabrina yang tak lepas dariku. Hal itu membuatku mengernyit aneh.

Saat telah berada di dekat mereka, aku bertanya pelan. "Ada apa?"

"Aku tidak sabar melihatmu menjalankan saran dari Angel," pekik Sabrina pelan. Suaranya tak bisa menutupi rasa senang dalam dirinya.

"Kamu tau?" Sabrina terkekeh pelan. "Tentu. Aku bersama Angel kemarin." Aku memutar kedua bola mataku jengah.

Sebenarnya, dibandingkan saran, kata 'misi' lebih tepat untuk melukiskannya.

"Omong-omong, kudengar, Alan ada jam olahraga siang ini," timpal Angel. "Lalu?" tanyaku tak paham.

Angel berdecak pelan. "Ayo kita ke sana nanti siang!"

"Ke mana?" tanyaku bodoh.

"Ke lapangan, Sayang. Kita cari di mana Alan berolahraga. Bisa saja di lapangan in door, bisa juga di lapangan out door."

"Haruskah?" tanyaku lagi. Sabrina mengetuk pelan dahiku. "Tentu, Bodoh! Ini yang harus kamu lakukan saat kamu telah menyadari untuk siapa perasaan yang kamu punya itu."

Dengan gontai, aku menganggukkan kepalaku lemas.

Baiklah. Tidak ada jalan keluar.

***

Satu hal yang tidak kita perhitungkan adalah,

Kita tidak bisa keluar di jam pelajaran Fisika!

Sial sekali bagi kedua temanku dan beruntung sekali bagiku.

Hari ini, jadwal olahraga di kelas Alan bentrok dengan jadwal Fisika milik kelasku. Dan bisa dipastikan, rencana Angel dan Sabrina, gagal total!

Kedua temanku tampak tidak bersemangat saat jam Fisika berlangsung. Tentu, aku paham betul perasaan mereka. Tapi tetap saja, aku tak bisa menahan rasa geli.

Maka dari itu, beberapa detik setelah guru Fisika itu keluar dari kelas, mereka berdua segera menarikku, membawaku ke arah lapangan in door berada. Sambil berharap-harap cemas, Alan berada di sana.

"Apa-apaan kalian ini?!" seruku kesal.

"Sudah jangan berisik! Kita harus cepat!" balas Sabrina sedikit membentak.

"Ayolah! Masih ada hari esok, 'kan?"

Serentak, mereka berdua menggeleng. "Itu tidak akan bagus untukmu."

Apa maksud ucapan Angel itu? Tidak bagus apanya? Aku merasa baik-baik saja.

"Diam sajalah! Dan turuti apa kata kami berdua. Kamu terlalu ... Apa itu namanya? Istilah dalam game," Angel menatap Sabrina, meminta jawaban. "Noob."

"Ah, iya! Noob! Kamu terlalu noob dalam masalah percintaan."

Aku memutar kedua bola mataku malas. Seperti mereka sudah pro saja. Padahal, Angel juga masih perlu buku pedoman sialan itu!

Tak lama, kami sampai di lapangan in door. Dari pintu masuk, aku dapat melihat Alan yang tengah men-dribble bola basketnya di tengah lapang. Sendirian.

"Bagus. Kita menemukannya," bisik Sabrina.

"Ayo, sana! Katakan perasaanmu padanya!" seru Angel pelan sambil mendorongku kuat-kuat. Aku limbung ke kanan dan hampir saja terjatuh.

Aku menatap geram Angel yang tengah mengernyit sambil menggumamkan kata maaf.

"Lena?" Tanpa dapat kuduga sebelumnya, Alan menyadari keberadaanku sebelum aku sempat menyiapkan mental.

Aku berbalik ke arahnya dengan secepat kilat. Sedang kedua temanku telah lari terbirit-birit sedari tadi.

Dengan memberikan senyuman canggung, aku membalas seruan Alan.

Ia melangkah perlahan mendekatiku. Tanpa dapat kucegah, aku berteriak histeris padanya, "JANGAN MENDEKAT!"

Ia nampak kebingungan dengan tingkahku. Sama seperti yang aku rasakan. Mungkin, aku terlalu grogi.

Dengan menurunkan sebelah tangan yang kupakai untuk menunjuknya tadi, aku kembali berucap, "Diam di situ. Biar aku yang mendatangimu."

"O-ke?"

Syukurlah jarakku berdiri dengan Alan cukup jauh. Jadi kupikir, aku punya cukup waktu untuk meredakan degupan di dadaku.

Satu.

Apa yang akan kukatakan padanya?

Dua.

Apa yang aku lakukan ini benar?

Tiga.

Kenapa dia diam saja?!

Dan tiba-tiba saja, ujung sepatuku menyentuh ujung sepatu olahraganya.

Aku mendongakkan wajah dengan secepat kilat, merasa syok karena jarak yang kupikir cukup jauh itu ternyata tidak berarti apapun.

Namun rupanya, itu adalah tindakan yang gegabah. Karena saat aku menengadahkan kepalaku, Alan tengah menundukkan wajahnya hingga jarak di antar kita tak lagi banyak tersisa.

Aku terpaku untuk sesaat. Mengamati kedua bola matanya yang terlihat bersinar.

"Ada yang mau kamu katakan?" suara rendah Alan membangkitkanku dari lamunan. Aku mundur satu langkah darinya.

"Ehem," dehamku. "Aku ... Mmm."

Aku mencoba merancang kata-kata yang dirasa tepat untuk kukatakan.

"Alan." Ia bergumam pelan menjawab seruanku.

Masih dengan menatap wajahnya, aku berkata pelan. "Ayo jadi pacarku."

Dari sekian banyak kata yang telah kurancang sebelumnya, hanya itu yang dapat aku katakan.

***

To Be Continued

Tragiko [SEASON 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang