Aku datang ke sekolah dengan mata sembab. Semalam, aku tidak dapat tidur. Sama sekali.
Bukan apa-apa. Mungkin, aku hanya takut Alan akan hadir di mimpiku walaupun kemungkinannya sangat kecil bahkan nyaris tidak ada. Dan kuakui, itu alasan yang sangat konyol.
Karenanya, aku segera menenggelamkan wajahku di atas meja begitu sampai di kelas hingga membuat kedua sahabatku menatapku dengan kebingungan.
"Kenapa? Abis nangis semalam? Mata kamu sembab."
Aku tak menjawab. Lebih tepatnya, malas untuk menjawab.
Tapi kemudian, ponselku bergetar di saku rok. Aku mengabaikannya. Namun, teleponku kembali bergetar untuk yang kedua dan ketiga kalinya. Dengan terpaksa, aku mengambilnya dan melihat pesan masuk.
Ternyata, Alan yang menghubungiku.
Kenapa? Kamu ada masalah? Mata kamu sembab.
Jawab pesan aku, Le!
Cepat! Atau aku telepon!
Darimana ia tahu keadaanku saat ini? Dia ada di sekitar sini?
Secara refleks, aku menengokkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Siapa tahu saja aku dapat melihat keberadaannya.
"Cari siapa?" tanya Angel ikut menengokkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
Lagi-lagi aku tak menjawab pertanyaan dari Angel. Aku justru memilih untuk menjawab pesan singkat dari Alan.
Tidak ada apa-apa! Tidak usah menelpon!
Angel dan Sabrina rupanya masih penasaran dengan gelagatku pagi ini. Mereka terus saja mengintip isi gawai yang tentu saja aku coba tutupi. Mereka mendesah keras saat tahu usaha mereka untuk mengintip tidak akan pernah berhasil.
"Ayo, cerita! Kamu tidak biasanya seperti ini," desak Sabrina. Aku mematikan layar telepon genggamku dan memasukkannya kembali ke dalam saku rok.
"Aku insomnia semalam. Sudah itu saja. Jadi jangan ganggu aku tidur!" balasku singkat. Kemudian, aku kembali membenamkan wajahku di atas meja.
Mereka berdua tak mengangguku. Setidaknya dalam lima menit--begitulah yang kurasa. Karena selanjutnya, mereka mengguncangkan tubuhku pelan namun terasa sangat menganggu. Dan aku baru benar-benar bangun saat Angel tiba-tiba berbisik di telingaku. "Bangun! Alan mencarimu!"
Benar saja. Saat aku menengadahkan kepala, Alan telah berdiri tepat di samping meja tempatku tidur.
"Tidak bisa tidur semalam, Le?" Aku tak menjawab. Lebih tepatnya, tak memiliki kesempatan untuk menjawab. Karena tepat saat aku akan menjawab, seseorang terpekik pelan memanggil Alan dan kemudian berlari kecil ke arahnya. Tanpa rasa canggung, ia segera memeluk sebelah lengan Alan seperti apa yang pernah kulihat.
Dan melihat mereka berdua yang berdiri tegap di hadapanku membuatku muak dan rasanya aku ingin kembali membenamkan wajahku ke atas meja. Kali ini, bukan untuk tidur. Melainkan untuk meredam rasa sakit di hatiku yang tiba-tiba saja kurasakan.
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragiko [SEASON 2]
RomanceSeason 1 [FINISH] Season 2 [DISCONTINUED for some reasons] ••• Tragikó/adj causing or characterized by extreme distress or sorrow. ••• Mungkin seharusnya, kita tidak usah bertemu bila itu hanya menimbulkan luka yang bahkan hingga kini masih terasa...