2nd page

121 17 0
                                    

Suasana sekolah masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Hanya mood ku saja yang berbeda.

Aku melambatkan langkah kakiku dan menunduk. Meratapi nasibku.

Ini pengalaman yang pertama bagiku. Baru pertama kali pacaran dan sudah dikhianati dengan kejamnya seperti ini.

Tunangan.

Apa mereka waras? Apa orang tuanya waras?

Kita masih SMA! Apa yang bisa diharapkan dari sebuah pertunangan? Apa itu semua tidak terlalu dini?

Tiba-tiba saja seseorang berhenti tepat di hadapanku.

"Kita perlu bicara."

Bahkan tanpa melihatnya saja aku sudah tau siapa dia.

Aku memilih menghindarinya dengan bergeser ke kiri, namun Alan ikut bergeser pula. Kugeserkan kembali ke kanan dan ia mengikuti langkah kakiku pula.

Aku berdecak kesal. "Nanti! Aku tidak mau bicara sekarang!" seruku pada akhirnya.

Aku menatapnya dengan pandangan kesal. Berbeda dengan tatapan miliknya yang mm, entahlah. Sendu?

Ia mengulas senyum tipisnya. "Baik. Aku tunggu kamu di lapangan indoor jam istirahat nanti." Dan kemudian ia menghilang dari hadapanku setelah sebelumnya mengelus puncak kepalaku pelan.

Hh, ini tidak akan berjalan dengan mudah.

***

"Are you okay?" pertanyaan Angel yang tiba-tiba itu membuatku tersadar.

"Ya. I'm okay. Kenapa memangnya?"

Angel dan Sabrina saling bertatap. "Kamu kelihatan tidak fokus selama jam pelajaran berlangsung."

Aku terkekeh pelan. "Itu hanya perasaan kalian saja!" Kemudian, responku itu mendapat tatapan tajam dari keduanya.

Aku menunduk lesu. Tidak akan ada satu hal pun tentang diriku yang luput oleh mereka!

"Alan minta bertemu," ceritaku kemudian.

"Kapan?" tanya Sabrina.

"Jam istirahat hari ini."

"Lantas?"

Aku mendesah mendengar pertanyaan Angel. "Aku belum siap! Itu intinya!"

"Kamu tidak akan pernah siap."

Perkataan Sabrina itu membuatku menoleh padanya secara refleks.

Sabrina menggedikkan sebelah bahunya. "Percayalah. Mau kalian bertemu besok, lusa atau bulan depan pun, kamu tidak akan siap. Tidak akan pernah."

"Ayo, Alena ku sayang. Angkat wajahmu dan tunjukkan bahwa kamu tidak sepenakut itu. Biarpun pada akhirnya kisah kalian berakhir di sini, setidaknya kamu telah menghadapinya dengan penuh keberanian."

Angel mengangguk menyetujui ucapan Sabrina. "Jujur saja, Alena. Ini seperti bukan dirimu."

Semua ucapan mereka membuat rasa takutku hilang secara tiba-tiba. Kenapa memangnya kalau Alan benar-benar bertunangan dengan Velly?

Kenapa memangnya kalau kisah cintaku berakhir dengan tragis seperti ini?

Setidaknya, aku akan menghadapinya dengan penuh keberanian.

"Sana, pergi!" Aku mengernyitkan dahi mendengar penuturan Angel. "Kamu janjian dengannya jam istirahat, 'kan?"

"Sekarang sudah istirahat?!"

Lagi-lagi, mereka saling bertatap dan memutarkan kedua bola matanya. Kemudian melangkah pergi meninggalkanku.

***

Aku melihat lapangan indoor yang terlihat sepi. Aku jadi ragu sendiri. Benarkah Alan menungguku di sini?

Aku jadi ingat perihal taruhan yang dilakukan Alan dengan Kenzo. Mm, kapan itu terjadi? Bulan lalu? Rasanya seperti masih kemarin.

Dan kemudian, aku tersadar.

Mungkin, aku memang tidak sepenting itu. Karena nyatanya, dari awal Alan mendekatiku karena taruhannya dengan Kenzo. Tidak ada maksud lebih. Ya, 'kan?

Dan karena Kenzo hilang entah kemana, maka Alan-lah yang otomatis menjadi pemenangnya.

Mendapatkan diriku.

Jadi, seharusnya aku tidak terlalu terbawa perasaan setelah lama dekat dengannya. Andai saja aku bisa menjaga perasaanku, mungkin aku tidak akan pernah merasakan patah hati sialan ini!

Mungkin juga ini karma karena aku dapat dengan mudahnya melupakan Kenzo. Hanya karena aku yang terlampau kecewa dengan kepergiannya yang mendadak.

"Kamu sudah ada di sini?" sapa Alan dari balik punggungku. Ia baru sampai di lapangan indoor.

"Maaf, ada beberapa hal yang harus kubereskan sebelum ke sini."

"Kak Velly, huh?" tanyaku berani sambil menguatkan diriku sendiri.

Ia menghela nafas dan mengembuskannya perlahan. "Kamu salah paham."

"Di bagian mananya? Aku bukan orang bodoh, Alan!"

Alan terlihat menahan emosinya. Alih-alih menjawab ucapanku, ia malah membawaku duduk di salah satu tribun. Aku mengikutinya dari belakang.

"Aku rasa, aku harus menceritakan semuanya padamu."

Aku diam. Tentu! Kamu memang harus menceritakan semuanya padaku! Kamu kira apalagi, huh?

Hah! Aku tidak pernah merasa se-emosional ini sebelumnya.

"Aku dijodohkan."

Seketika, aku menatapnya dengan pandangan tak percaya.

"Yah, dengan Velly. Kita berteman sejak kecil. Itu sebabnya aku dan Velly dekat. Namun akhir-akhir ini, aku tidak suka dekat-dekat dengannya. Selain karena aku tidak suka dengan keputusan orang tuaku untuk menjodohkanku dengannya, aku juga mulai menyadari satu hal. Bahwa ada satu orang penting dalam hidupku yang tak bisa kulewatkan. Kamu."

"Oh! Hentikan, Alan! Kamu tidak akan mungkin menyakitiku bila kamu menganggapku 'orang penting'!" balasku kesal.

"Aku tidak pernah memiliki niat untuk menyakitimu, Alena. Sama sekali!" Ia menjawab dengan sungguh-sungguh yang masih tidak kupercayai.

"Kalau apa yang kamu katakan itu benar, kamu tidak mungkin mengirimiku pesan hari itu! Kamu tidak mungkin memintaku untuk datang ke restoran mewah itu hanya untuk menyaksikan pertunanganmu!"

Ia terlihat kehilangan arah sejenak begitu mendengar pengakuanku. Dan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sini. Apa mungkin...?

"Bukan kamu yang mengirimkan pesan itu?" tanyaku pelan. Ia tersenyum simpul dan kemudian menggeleng pelan. "Itu bukan aku."

Dan kemudian, rahangnya mengeras. Tatapannya lebih tajam dari sebelumnya. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat. Ya, ia tengah meredam amarahnya.

Perlahan, kuusap lengannya. Mencoba meredakan amarahnya.

"Biar aku beri ia pelajaran!" desisnya. "Siapa?" tanyaku penasaran.

"Siapa lagi memangnya kalau bukan Velly?"

***

To Be Continued

Tragiko [SEASON 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang