Alan tampak kaget begitu ia mendengar ucapanku itu. Tentu saja, aku pun tak kalah kagetnya dari Alan.
Ia lantas mengeluarkan tawa canggungnya. "Kamu bercanda?"
Aku menggeleng dengan tegas. "Tidak untuk sepatah kata pun!"
"O-oke." Alan masih tampak linglung. Aku mengerti. Ini pasti sangat membingungkan untuknya.
Dia berdecak pelan. "Tapi-"
"Tidak!" Aku memotong ucapannya dengan secepat kilat. "Aku tidak menerima kata 'tapi'. Yang aku butuhkan hanya jawabanmu. 'Ya' atau 'Tidak'."
"Tidak menerima kata lain?" Aku menggeleng dengan tegas.
Alan terdiam sejenak. Aku menunggunya dengan harap-harap cemas. Jika ini adalah film romance comedy Jepang, mungkin suara detak jantungku yang tak beraturan ini akan terdengar sangat jelas.
"Oke." Alan mulai membuka suara. "Jawabannya adalah..."
Jujur saja, aku benci saat dia mulai menggantungkan ucapannya. Seperti dalam siaran acara-acara di televisi saja! Ia membuat detak jantungku yang tak karuan ini semakin menjadi-jadi.
"Tidak." Ucapannya itu dapat kudengar dengan jelas. Sangat jelas.
"Ti-tidak?" ucapku membeo dengan nada yang berdecit, syok. Ia mengangguk sekali dengan mantap. "Ya, jawabannya adalah tidak."
"Ta-tapi..."
Aku baru saja ingin bertanya apa alasannya? Namun aku menahan pertanyaanku itu dalam-dalam. Jujur saja, aku tidak sanggup mendengar alasannya.
Maka yang bisa kulakukan hanyalah menahan nafasku sekuat-kuatnya dan tersenyum dengan paksa. Sekadar memperlihatkan pada Alan bahwa aku baik-baik saja meski telah ia tolak.
"Baiklah. Aku telah mendengar jawabanmu." Lalu dengan perlahan, aku membalikkan badanku. Bersiap untuk pergi dari sana.
"Tidak ingin mendengar alasannya? Kamu tidak penasaran?" tanyanya memancing perhatian.
"Tidak," jawabku tegas.
Karena aku takut untuk mendengar alasannya.
Tepat beberapa langkah sebelum aku keluar, Alan berucap, "Aku yakin, setelah kamu benar-benar pergi dari sini, hubungan kita tak akan sama lagi. Kita mungkin akan kembali menjadi dua orang asing yang tak kenal satu sama lain. Maka dari itu, biarkan aku mengatakan hal ini untuk terakhir kalinya."
Aku menunggu ucapan selanjutnya dari mulutnya. Tetap dengan posisiku yang tak berubah. Tegap dan membelakanginya.
"Tanggal 27 Januari setahun yang lalu, di hari aku melihatmu untuk pertama kalinya, aku telah mengagumimu. Jika kamu pikir bahwa pertemuan pertama kita adalah di kantin saat itu, kamu salah. Jelas salah. Aku telah bertemu denganmu dari jauh-jauh hari."
Aku membalikkan tubuhku hingga menghadap padanya. Merasa tertarik dengan ceritanya.
"Mungkin kamu melupakannya, tapi biarlah hari ini aku mengingatkanmu kembali."
"Saat itu, kamu tengah menunggu bis yang tak kunjung datang. Kamu terlihat sangat kesal. Kamu berjalan bolak-balik dengan tak karuan sembari menendang-nendang apa saja yang ada di hadapanmu hingga kaleng soda yang kamu tendang itu mengenai aku. Lelaki misterius yang tengah duduk sembari memperhatikanmu di kursi tunggu halte."
"Saat itu, aku tak tau di mana kamu bersekolah, di mana rumahmu, juga siapa namamu? Namun, aku telah jatuh cinta padamu. Saat itu juga."
"Hingga akhirnya, waktu membawaku pergi lebih dekat denganmu. Kita kembali dipertemukan. Kali ini, saat kamu tengah berada di laboratorium kimia sedang aku tengah memulangkan beberapa alat praktikum ke lab. Saat itulah, aku tau bahwa kamu mungkin akan menjadi jodohku."
"Walau begitu, aku masih belum berani untuk menyapamu. Untuk berkenalan denganmu. Aku bahkan mengetahui namamu dari salah seorang teman kelasmu. Tugasku hanyalah mencoba mengenalmu dan mengagumimu dari jauh."
Ia melangkahkan kedua kakinya tuk mendekatiku yang masih syok mendengar pengakuannya yang tak akan pernah kuduga.
Selama ini, aku bahkan melupakan hal-hal yang telah ia sebutkan barusan.
Aku tau aku pernah tak sengaja menimpuk seorang lelaki di halte bus, tapi aku tak ingat wajah lelaki itu. Aku pikir, aku hanya melihat wajahnya sekilas.
"Hingga insiden di hari itu, hari yang kamu pikir adalah hari pertama kita bertemu. Di hari itulah, aku memantapkan diriku sendiri untuk mengejar, walau aku tau, kamu bahkan tidak bisa berpaling dari Kenzo."
Ia melanjutkan ceritanya. Alan mengelus pelan pipi kananku beberapa kali sesaat setelah ia berada tepat di hadapanku.
"Aku tak pernah tau, dan tak pernah bermimpi hari ini akan datang padaku. Menemukanmu ada di sini, untuk mendengar ajakan 'kencan' darimu. Tidak pernah, sekalipun. Bahkan di dalam mimpiku yang terliar."
"Jadi Lena, biarkan aku menolak ajakan 'kencan' mu itu. Dan terimalah pengakuanku ini. Pengakuan bahwa aku adalah milikmu."
Aku terharu mendengar semua ucapannya itu. Aku ingin menangis, tapi aku sendiri bahkan tak tau untuk apa?
"Jangan menangis," pintanya lirih.
"Tidak, aku tidak menangis," jawabku yang tanpa kusadari telah terisak.
"Jangan bohongi dirimu sendiri. Aku tidak menyukainya."
"Ini tangisan bahagia."
"Maka bila memang benar begitu, teruslah menangis. Aku akan mendampingi dalam tangis bahagiamu. Asalkan itu, bukanlah tangisan kesedihan. Dan itu tidak akan terjadi. Karena aku telah berjanji pada diriku sendiri, Lena. Aku tidak akan menyakitimu."
Semoga saja, Alan. Semoga saja kamu selalu memegang janjimu itu. Karena bila kamu sakiti aku, aku bersumpah tidak akan memaafkanmu lagi. Karena hanya kamu, satu-satunya lelaki, yang aku percayai.
***
To Be Continued
Ps: Tragikó bntar lagi tamat gaes! Dan muncullah nanti season 2 wkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragiko [SEASON 2]
RomanceSeason 1 [FINISH] Season 2 [DISCONTINUED for some reasons] ••• Tragikó/adj causing or characterized by extreme distress or sorrow. ••• Mungkin seharusnya, kita tidak usah bertemu bila itu hanya menimbulkan luka yang bahkan hingga kini masih terasa...