3rd page

106 16 0
                                    

Tidak ada yang bisa kusembunyikan dari kedua sahabatku.

Kalian tau itu, 'kan?

Maka dari itu, mereka tau semua hal yang terjadi di lapangan indoor pagi tadi.

Dan, yah, respon mereka sedikit mengecewakanku.

Mereka hanya terdiam dengan pandangan menyelidik ke arahku. Seolah-olah ada hal lain yang kusembunyikan. Padahal nyatanya, tidak ada. Sama sekali tidak ada.

"Kenapa? Kalian meragukan ceritaku?" Aku menyuarakan isi hatiku.

"Tidak mungkin," bisik Angel pelan.

"Ya, tidak mungkin," balas Sabrina membenarkan ucapan Angel.

Aku mengusap wajahku dengan kedua tangan. "Aku tau, aku tau! Itu memang terdengar tidak masuk akal! Kita masih SMA, 'kan? Biar mereka sudah berada di kelas atas, pertunangan itu terdengar seperti ... lelucon. Ya, 'kan?"

"Bukan. Bukan itu," balas Angel semakin berbisik.

"Ada beberapa hal yang kita ketahui tentang Velly. Jadi, mendengar ceritamu ini, yah, terdengar tidak masuk akal."

Perkataan Sabrina seketika membuatku tertarik. "Apa? Apa yang kalian ketahui?"

Angel berdeham pelan. "Velly itu ... Ada kabar burung yang mengatakan bahwa ia mempunyai kekasih."

"Kekasih?" ucapku mengulang perkataan Angel. Angel mengangguk.

"Kami baru ingat sekarang, Alena. Dan ada yang bilang bahwa kekasihnya itu ..."

Sabrina menggantungkan ucapannya. Membuatku penasaran.

"Kekasihnya itu ... Lumpuh."

Ucapan Angel membuatku terpekik pelan. "Tap-tapi ... Kenyataannya ia bertunangan dengan Alan! Jadi mungkin kabar itu tidak benar."

"Yah, bisa jadi. Lagipula, itu hanya kabar burung. Tapi bila kabar burung itu benar, menurutmu, kenapa ia bertunangan dengan Alan disaat ia mempunyai kekasih?"

Pertanyaan Sabrina membuat otakku berpikir. "Desakan orang tua?"

"Ya, bisa jadi."

"Tapi Alena, apa kamu tidak tertarik dengan jawaban Alan tadi? Bahwa yang mengirim pesan itu adalah Velly? Kenapa ia terlihat sangat yakin?"

"Kenapa?" tanyaku pada Angel. Ia menjawabku dengan gelengan pelan.

"Itulah, Lena. Itu yang harus kamu cari tau."

***

Aku kembali bertemu Alan keesokan paginya di koridor sekolah. Dan mau tidak mau, aku jadi teringat kembali dengan percakapanku dengan kedua sahabatku semalam.

Aku ingin sekali menanyakannya pada Alan. Tapi, aku tidak tau harus mulai darimana?

Jadi, alih-alih bertanya tentang Velly, aku malah menanyakan kabarnya.

Ia tersenyum tipis. "Tidak pernah sebaik ini."

Dan kemudian, ia mengalungkan sebelah lengannya di leherku. Mengantarku ke kelas.

Aku menatap Alan lekat-lekat. Dari jarak pandang sedekat ini, Alan terlihat begitu mempesona.

Garis rahangnya yang dilengkapi senyuman membuatku terhipnotis. Selama ini, aku belum melihat senyum Alan yang secerah ini. Ada kabar baik, kah?

"Alan," panggilku setengah berbisik. Ia menjawab dengan dehamannya. Wajahnya ia tolehkan hingga menatapku.

Aku membeku.

Sial! Ini terlalu dekat!

Aku memundurkan sedikit kepalaku. Membuat jarak yang aman antara kami.

"Ada kabar baik?"

Alan mengerutkan keningnya. Menghilangkan senyuman dari bibirnya. "Kamu tidak pernah sesenang ini."

Tak lama, guratan senyum itu kembali muncul di wajahnya. "Ya, aku tidak pernah sesenang ini. Ini hari yang sangat indah."

"Kenapa?"

"Hei! Apa aku harus punya alasan di setiap rasa senangku?"

Aku terdiam. Ya, semestinya ada bukan?

Ia lantas memajukan tubuhnya dan mengecup pelan keningku.

"Ini hari yang indah. Aku tidak menyangka akan datangnya pelangi sesudah hujan," jawabnya sambil berbisik.

Aku mencoba mencerna maksud ucapannya itu. Namun, nihil. Aku tidak mengerti sama sekali dengan ucapannya.

Sayangnya, aku tidak bisa bertanya maksudnya dengan jelas karena aku telah tiba di depan kelasku.

Ia melepaskan rangkulannya dan kembali membuat jarak. "Sana, masuk kelas! Belajar yang benar!" Aku mengangguk pelan.

Kemudian, ia mencondongkan wajahnya hingga berada tepat di depan wajahku. "I love you."

Dan ia pun mencuri kesempatan dengan mencium sudut bibirku sekilas.

***

To Be Continued

Semangat puasanyaa!!

Tragiko [SEASON 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang