Aku menatapnya yang tengah meminum fruit tea freeze dalam diam. Entahlah. Aku selalu betah tiap menatapnya. Apalagi bila diam-diam seperti ini.
Dia tidak setampan Alan. Dia juga bukan kakak kelas. Dia seangkatan denganku. Anak IPA 4.
Ia baik, ramah, murah senyum dan perhatian.
Dulu, aku satu barak dengannya. Dan teman pertama lelakiku saat itu adalah dia.
Memang dasar hormon remaja sialan! Entah sejak kapan, perasaan sebatas temanku itu berkembang menjadi rasa suka. Lalu semakin berkembang seiring berjalannya waktu hingga menjadi rasa cinta.
Namanya, Kenzo Adybala. Dan kini, ia tengah balik menatapku.
Mampus!
Aku tersenyum kikuk. Tak dapat kuduga sebelumnya, ia malah berjalan menghampiriku. Setelah sebelumnya membuang botol minumannya ke tempat sampah.
"Hai, Alen! Lama tidak jumpa. Apa kabar?"
"Mm... Sedikit-tidak baik."
Ia mengernyit. "Kenapa? Kamu sakit?"
Tidak. Aku tidak sakit. Aku baik-baik saja. Aku hanya terlampau gugup.
Aku tertawa kering. "Abaikan! Aku baik-baik saja. Kamu?"
"Yah, begitulah. Kenapa tidak pernah menyapa?" Aku mati kutu mendengar pertanyaannya. Dengan terbata, aku menjawab.
"Mm, aku takut kamu lupa denganku?" jawabku ragu sendiri. Ia tertawa renyah.
"Yang benar saja?! Mana bisa aku lupa dengan kamu? Kamu teman perempuanku yang pertama di SMA ini!"
Itu fakta yang baru aku ketahui hari ini. Dan mengetahui hal itu, entah mengapa, hatiku menghangat.
"Itu berarti sesuatu?" tanyaku tanpa sadar dengan penuh harap. Ia mengangguk mantap.
"Aku selalu tidak bisa melupakan orang-orang pertama yang aku kenal di suatu tempat. Dan kamu termasuk salah satunya," jelasnya.
"Mm... Terima kasih."
Ia lagi-lagi tertawa. "Kenapa berterima kasih? Sudah, lupakan! Mau ke kelas bersama?" ajaknya. Aku mengangguk malu-malu.
Kami pun berjalan bersisian. Demi apapun! Aku tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi di dalam hidupku. Dulu, ini adalah hal yang biasa. Hanya saja kini, dengan perasaan yang berbeda, hal ini bukanlah perkara biasa lagi.
"Kamu sudah ulangan biologi?" Aku menggeleng. "Kelas kamu sudah?"
Ia tersenyum hingga memperlihatkan barisan giginya yang rapi. "Sama. Kelasku juga belum."
"Lalu? Kenapa bertanya?" tanyaku bingung.
"Tidak kenapa-napa... Siapa tau saja kelasmu sudah ulangan? Aku ingin tau saja bentuk soalnya."
"Yang pasti, bahaya kalau kamu tidur di kelas tiap jam pelajarannya. Ibu biologi itu selalu membuat soal dari apa yang ia ucapkan di kelas. Jadi, bila kamu tidur atau tidak mendengarkannya, hati-hati saja! Sudah pasti akan kena perbaikan."
"Ah, kamu terlalu menakut-nakuti!"
"Aku tidak menakut-nakuti!" pekikku kecil. "Aku hanya memberimu nasihat."
Ia tersenyum simpul. "Terima kasih, kalau begitu."
"Ah, ini kelasmu."
"Mm, ya," balasku salah tingkah.
"Kalau begitu, mm, aku ke kelasku dulu," pamitnya. Aku mengangguk.
"Hati-hati!"
Ia terkekeh. "Kelasku ada di atas kelasmu, Alen!"
Aku menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal. "Tetap saja, hati-hati! Siapa yang tau kamu akan jatuh nanti." alibiku.
"Aku akan baik-baik saja, Alen. Selalu."
Dan kemudian, tanpa bisa kuprediksi sebelumnya, Kenzo mengelus pelan puncak kepalaku lalu berlalu begitu saja.
Aku mematung di tempat. Hingga akhirnya, kedua sahabatku, Angel dan Sabrina datang menghampiriku dengan nada-nada meledekku.
"Ey! Jadi, kembali ke Kenzo?" tanya Sabrina.
Aku melambaikan sebelah tanganku. "Pertanyaan aneh! Kembali? Apa maksudnya itu?"
"Maksudnya, kamu kembali menyukai Kenzo? Bukan Alan?" Angel menjelaskan. Aku tak menanggapinya dan menuju bangkuku.
"Hei! Jawab!" desak Sabrina tak sabar.
Aku berdecak pelan. Dengan malas aku menjawab, "Memang, siapa yang bilang aku suka Alan?"
Dan seketika, mereka berdua terdiam.
***
To Be Continued
Ps: Aku update!! Maaf ya slow update😔 Aku harap kalian sabar dan setia nunggu TRAGIKO ini☺
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragiko [SEASON 2]
RomanceSeason 1 [FINISH] Season 2 [DISCONTINUED for some reasons] ••• Tragikó/adj causing or characterized by extreme distress or sorrow. ••• Mungkin seharusnya, kita tidak usah bertemu bila itu hanya menimbulkan luka yang bahkan hingga kini masih terasa...