Alan benar-benar menjemputku pukul tujuh malam. Aku segera bergegas dan kemudian pamit kepada mama.
Alan mengajakku ke sebuah kafe yang baru buka. Sebuah kafe kecil tapi cukup nyaman untuk sekadar berbincang.
Namanya kafe baru, tentu masih disesaki banyak orang. Untunglah kami masih mendapatkan tempat duduk meski harus menempati meja tengah.
Kami memesan spaghetti dan jus mangga untuk menu makan malam. Selagi menunggu pesanan, Alan membuka percakapan.
"Kamu cantik malam ini."
Aku tersipu malu. "Jadi, biasanya aku tidak cantik?"
"Tentu cantik juga. Hanya, aku suka melihatmu yang sekarang."
Padahal aku hanya mengenakan blouse hitam dengan rok selutut berwarna coklat. Sungguh penampilan yang jauh dari kata 'gorgeous'. Juga aku tidak banyak memoleskan make up di wajah. Karena, ya, aku tidak bisa berdandan.
Di tengah obrolan, ponsel Alan berdering. Dering pertama, tak ia jawab begitu melihat caller id-nya. Di dering kedua, Alan segera mematikan ponselnya dan kembali mengobrol denganku seakan tak ada yang mesti kukhawatirkan.
"Jadi, apa harimu menyenangkan?"
Aku terkekeh mendengar pertanyaannya. "Tentu. Hari yang paling menyenangkan dari semua hari."
Tak lama kemudian, pesanan kami datang. Kami menikmatinya tanpa sepatah kata pun.
Begitu spaghetti ku tinggal tersisa sedikit lagi, Alan mendekatkan wajahnya dan berbisik pelan. "Ayo pergi dari sini."
Ia nampak tak tenang. Berkali-kali ia menengok ke kanan dan kiri seolah tengah mencari seseorang.
"Ayo, cepat!" serunya lagi. Tanpa menghabiskan spaghetti milikku, aku segera bergegas keluar kafe mengikuti langkahnya.
Di motor, kami tak saling berbicara. Berkali-kali aku mencoba menahan rasa penasaran dan meyakinkan diri bahwa nanti ia pasti akan menceritakannya.
Namun hingga aku sampai di rumah, Alan tak menyinggung perihal sikapnya di kafe tadi. Lagi-lagi, ia bersikap layaknya tak ada masalah. Membuat rasa penasaranku semakin memuncak.
Hanya ada satu pesan singkat dari Alan sebelum aku memejamkan mata. Isinya sederhana. "Selamat tidur," katanya.
Tapi ucapan selamat itu justru tak berhasil membawaku menyelami mimpi yang indah. Yang ada aku malah tidur dengan rasa gelisah.
Alan, sudah kubilang, jangan begini. Aku tidak mau ada rahasia dalam kisah kita.
Tapi aku bahkan hanya berani mengucapkannya dalam hati hingga aku terlarut dalam mimpi buruk. Mimpi di mana Alan menghilang entah ke mana.
***
Hubunganku dengan Alan berjalan mulus. Sudah berjalan tiga bulan dengan hari ini. Tidak ada pergerakan yang berarti. Alan yang sekarang masih tetap sama seperti Alan yang kukenal.
Hanya, ia tetap menyimpan rahasianya erat-erat. Dan aku tetap tak berani untuk bertanya padanya. Bertanya tentang rahasia apa yang sekiranya Alan sembunyikan dariku.
Kupikir, itu bukanlah masalah yang besar. Bila waktunya tiba, Alan tentunya akan memberitahuku semua rahasia yang ia simpan itu. Pertanyaannya hanya satu. Sampai kapan?
Sampai kapan ia akan menyimpan rahasianya dariku?
Malam ini, Alan mengajakku pergi. Lewat pesan singkat yang ia kirimkan padaku pagi tadi, ia memintaku untuk pergi ke sebuah restoran mewah di tengah kota. Katanya, malam ini adalah malam yang istimewa baginya. Aku jadi malu. Siapa sangka ia masih mengingat tanggal jadian kita? Biasanya, 'kan, laki-laki paling sulit dalam mengingat satu tanggal.
Dengan bantuan kedua sahabatku yang bak ibu peri, mereka merubah tampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku bahkan tak mampu mengenali diriku lagi. Pantulan di cermin itu benar-benar terlihat seperti bukan diriku.
Mereka bilang, Alan pasti akan terpesona begitu melihatku. Aku tersenyum simpul saat mendengarnya. Semoga saja begitu.
Pukul tujuh malam, aku telah sampai di restoran yang Alan sebutkan lewat pesan singkatnya tadi pagi.
Aku menyebut nama Alan pada resepsionis, aku diarahkan menuju tempat VVIP berada. Dalam hati, aku berdecak kagum melihat interior restoran. Sebegitu niatkah Alan hingga menyewa tempat semewah ini?
Begitu sampai di tujuan, aku membuka pintu dengan jantung berdebar. Seperti apakah suasana di dalam? Apa dipenuhi oleh bunga-bunga? Atau mungkin penuh dengan balon?
Menempis semua dugaanku aku lantas membuka pintu dan terkejut begitu melihat ke dalam.
Itu bukanlah sebuah perayaan anniversary! Itu adalah sebuah acara pertunangan! Aku dapat melihat dengan jelas saat Alan menyematkan cincin pada seorang wanita yang sialnya itu adalah Kak Velly!
Dadaku sakit. Aku benar-benar tak bisa lagi menyembunyikan tangisku. Kututup kembali pintu dengan suara berdebum keras yang juga mengejutkanku.
Aku melangkah dengan cepat meninggalkan restoran sambil terus menitikkan air mata. Aku bahkan tak merasa malu dengan semua atensi orang-orang di sekitar.
Malam ini adalah malam terburuk sepanjang hidupku. Aku kecewa, sakit hati, hancur dan tak berdaya.
Setelah ini, aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Yang kuinginkan sekarang hanyalah segera sampai di rumah dan menangis sepuasnya di dalam kamar.
• Tamat •
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragiko [SEASON 2]
RomanceSeason 1 [FINISH] Season 2 [DISCONTINUED for some reasons] ••• Tragikó/adj causing or characterized by extreme distress or sorrow. ••• Mungkin seharusnya, kita tidak usah bertemu bila itu hanya menimbulkan luka yang bahkan hingga kini masih terasa...