1st page

177 15 0
                                    

Aku mengurung diri di dalam kamar. Ponsel ikut kumatikan. Aku tidak ingin ada yang menggangguku malam ini.

Aku kacau. Dan aku butuh waktu sendiri.

Kupeluk erat kedua lutut. Kubenamkan kepalaku di sana.

Tuhan, dari sekian juta manusia yang ada di bumi, kenapa harus aku yang tersakiti?

***

Aku terlambat bangun di keesokan harinya. Pintu kamar yang kukunci membuat Mama hanya bisa membangunkanku dari luar. Dan, yah, aku bahkan tak mendengar teriakannya sama sekali.

Kutengok cermin di hadapanku. Kacau.

Rambut yang acak-acakan juga kedua mata yang sembab membuatku merasa puas dengan keputusanku untuk membolos.

Kunyalakan ponselku dan kulihat ada banyak pesan yang kuterima dari kedua sahabatku.

Dan kemudian, aku melihat juga setumpuk pesan singkat dan panggilan tak terjawab dari dia. Alan.

Aku menghiraukan semua itu. Dibandingkan membuka pesan mereka satu persatu, aku memilih untuk mandi.

***

Memilih untuk tidak masuk sekolah bukan berarti aku terhindar dari kedua sahabatku. Nyatanya, aku semakin merasa tertekan dengan kehadiran mereka berdua di sini. Di rumahku. Tepatnya, di kamarku. Padahal, ini belum waktunya pulang sekolah.

Insting mereka terlalu tajam untuk menilai sesuatu yang salah. Belum lagi dengan kenyataan bahwa Alan yang terlihat uring-uringan selama di sekolah, kata mereka.

Jadi, dengan menguatkan hati, aku menceritakan semuanya pada mereka. Tentang apa yang kulihat, dan tentang apa yang terjadi sebenarnya.

"APA?!" seru Angel sedikit berlebihan sebagai responnya.

"Kamu yakin?" tanya Sabrina memastikan. Aku mengangguk kuat-kuat.

"Aku tidak mungkin salah! Ada orang tuanya di sana. Apalagi, aku melihat dengan sangat jelas saat mereka bertukar cincin."

"Gila! Alan benar-benar gila! Bajingan kecil tak tau diuntung! Apa bagusnya Si Velly itu?!" Angel bersungut-sungut. Aku membiarkannya.

"Lalu, apa ada kabar dari Alan?"

Seketika, pertanyaan Sabrina mengingatkanku akan setumpuk pesan singkat darinya. Lantas, kuhidupkan ponselku dan kuberikan pada Sabrina. Biar dia saja yang membaca isinya.

"Isi pesannya sama semua. Dia minta bertemu denganmu." ucap Sabrina beberapa saat kemudian.

"Kamu mau menemuinya?" Angel menatapku dengan lekat. Aku menjawab pertanyaan itu dengan gelengan lemah. "Kalaupun kita bertemu, apa yang mau dibicarakan?"

"Tentu saja tentang 'pertunangan' itu! Kamu harus tau cerita lengkapnya, alasannya."

"Itu sudah jelas, Angel! Jawabannya sudah sangat jelas! Aku dicampakkan!"

Sabrina meraup kedua tanganku. "Aku mengerti keadaan kamu. Kita akan membantu kamu untuk menghindari Alan. Tapi saranku, kamu tetap harus menemuinya. Setidaknya untuk mengucap kata pamit. Ingat, jangan menghindarinya terlalu lama."

Dan selalu saja. Sabrina menjadi teman yang paling mengerti diriku. Sangat.

***

Angel dan Sabrina pulang ketika hari telah gelap karena mendung. Jika bukan aku yang menyuruh mereka untuk pulang, pasti mereka akan tetap ada di sini.

Namun untuk kali ini, aku tidak suka dengan kehadiran mereka. Bukan apa-apa, hanya saja, ini pertama kalinya aku patah hati. Apalagi alasannya karena dicampakkan. Aku hanya tidak ingin terlihat terlalu menyedihkan saja.

Tak lama, suara klakson motor terdengar dari luar. Kulangkahkan kakiku menuju kaca jendela guna melihat siapa yang datang.

Kusibak gorden yang menutupi jendela dan kutemukan Alan di bawah sana. Duduk manis di atas jok motornya sambil menatapku dengan cemas.

Aku memalingkan muka. Kututup kembali gorden dan kuhiraukan ia. Tapi Alan justru menelponku.

Aku menatap panggilan itu dengan ragu. Tak lama, panggilan itu berhenti dan digantikan oleh pesan singkat.

Sini. Aku mau bicara.

Kubalas pesan singkat itu dengan satu kata. Pergi.

Ia tak menyerah. Katanya, Aku akan tetap di sini. Kita perlu bicara.

Aku tak membalasnya lagi. Biarlah. Pasti ia akan menyerah juga nantinya.

Kubuka novel yang baru kubeli minggu lalu dan mulai larut dalam setiap diksinya. Bahkan aku tidak sadar bahwa hujan telah turun. Entah dari kapan? Dan aku pun tidak tau, apa Alan masih ada di luar sana atau tidak.

Biarlah.

Dia tidak cukup bodoh untuk hujan-hujanan di luar sana. Ya, 'kan?

***

To Be Continued

Tragiko [SEASON 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang