Ting tong!
Bel rumahku berbunyi. Aku mengabaikannya. Selain malas untuk membuka pintu, aku juga yakin ada mamaku di lantai bawah yang akan membukanya.
Benar saja, setelah deringan kedua, bel itu tak lagi berbunyi.
Aku dan kedua temanku tengah asik membahas sub-bab minyak bumi saat pintu kamarku diketuk pelan. Aku lantas membukanya.
"Ada teman kamu, tuh!" ucap mamaku sebelum kembali berbalik. Sabrina dan Angel yang memperhatikanku sejak tadi mulai bertanya-tanya.
Aku memberikan mereka gerakan di kedua bahu. Sama tidak taunya dengan mereka.
Tanpa banyak bicara, aku kemudian turun ke lantai bawah. Menemui 'temanku' yang lainnya.
Di ruang tamu sana, aku melihat sosoknya yang tengah mengobrol dengan mama.
Di atas meja itu terdapat sebuah bingkisan. Kresek berwarna putih yang di dalamnya berisi kardus makanan. Bila diselidiki lebih dalam, itu kardus martabak.
Aku memalingkan wajahku ke tempat jam dinding berada. Jam tujuh malam. Apa tukang martabak sudah mulai berjualan?
Tak terasa, kakiku membawaku lebih dekat padanya. Juga mama. Mama yang menyadari kehadiranku lebih awal, lantas berseru pelan. "Sini! Temani teman kamu dulu! Angel sama Sabrina ke mana? Mereka gak ikut turun?"
Aku menggeleng samar. Kemudian, mamaku memutuskan pergi darisana. Meninggalkan aku dan dirinya berduaan di ruang tamu.
"Kamu gak bilang mau ke rumah," ucapku membuka percakapan. Aku kemudian duduk di seberangnya.
"Selagi kamu ada di rumah, sepertinya itu bukan masalah."
Lalu, percakapan kami berhenti untuk beberapa saat.
"Apa aku mengganggu? Aku pulang saja kalau begitu."
Aku dengan cekatan menahan sebelah tangannya begitu ia akan bangkit.
"Ga-usah..." kataku sedikit tergagap. Aku berdeham pelan. "Gak ganggu sama sekali. Kita sudah mau selesai."
Ucapanku itu ternyata berhasil mengurungkan niatnya. Dan dengan ragu-ragu, aku menyentuh kantung kresek itu.
"Ah, itu martabak telor buat kamu." Kenzo mengatakan itu sembari menggaruk pelan tengkuknya.
"Gak perlu repot-repot..." Ia menggeleng tegas.
"Gak repot sama sekali. Aku malu saja kalau datang tiba-tiba dan tidak bawa apa-apa," balasnya. Aku tersenyum.
"Tunggu sebentar, ya? Aku bawakan piring dulu. Kita makan sama-sama saja martabaknya."
Lalu, tanpa menunggu balasan darinya, aku melangkah menuju dapur.
Ternyata di sana, sudah ada Sabrina dan Angel yang tengah mengintip ke arah ruang tamu. Memang, tamuku bisa terlihat dari dapur karena letaknya yang cukup berdekatan.
Aku mencebikkan bibirku kesal. "Sedang apa di sini? Sudah selesai isi soalnya?"
Mereka berdua mengangguk mantap. "Kita tidak tau pasti jawabannya akan benar atau salah. Tapi, jangan khawatirkan kita. Kamu pacaran saja dulu sana!" ucap Angel menggoda.
Lagi-lagi aku mencebik kesal. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya menghiraukan mereka dan berlalu begitu saja sambil membawa piring.
Aku menata martabak itu dengan hati-hati di atas piring. Ia menatapku sungguh-sungguh yang membuatku susah bernafas.
"Kamu masih ingat rumahku?" tanyaku basa-basi masih sambil menata martabak. Dulu, saat kami masih satu barak, dia selalu mengantarku pulang. Bukan keinginanku, tapi dia.
"Tidak sulit mengingatnya."
"Kamu sibuk? Mama kamu bilang, teman-teman kamu sedang ada di sini. Belajar bersama?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan dan mengambil sepotong martabak sebelum memakannya. Kusodorkan piring itu ke hadapannya, lalu ia mengambil satu.
"Kita memang sedang belajar bersama. Tapi, aku tidak sibuk. Lagipula, mereka sudah selesai."
Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau begitu, suruh mereka ke sini. Kita kumpul sama-sama."
Aku menyetujuinya. Namun sebelum aku bangkit dan menghampiri teman-temanku, mereka telah datang lebih dulu.
"Lena! Kita pulang, ya?" pamit Sabrina. Aku tergagap. "Ha-hah?"
Di seberangku, aku melihat Kenzo tersenyum geli. Sialan.
"Kita pulang, sayang. Sudah malam," lanjut Sabrina. Aku ingin menahan mereka lebih lama, tapi Angel malah memberikanku kedipan sebelah matanya. Aku terdiam. Sibuk mencerna kedipan matanya.
Belum sempat kucerna, Sabrina telah menarik Angel pergi. Lalu mereka berlalu begitu saja sambil berseru. "Sampai jumpa."
***
Kini, tinggal aku dan Kenzo. Berdua. Terduduk kaku di ruang tamu.
Posisiku belum berubah sama sekali. Sama seperti dirinya. Kami masih duduk saling berhadapan.
Ia berdeham pelan. "Jangan kaku begitu!"
Aku tertawa garing. Tau saja dia!
"Jadi, how's your life?" tanyanya kemudian. Aku sempat kaget mendengar pertanyaannya. Namun tak urung, aku menjawabnya juga.
"Same as usual. Nothing special. What 'bout yours?"
"Aku membuat perencanaan baru dalam hidupku. Satu tindakan yang bisa merubah seluruh hidupku."
"Kamu sudah memulainya?" tanyaku penasaran. Ia mengangguk. "Sedang dalam proses. Aku harap, semuanya berjalan lancar."
"Ya, semoga. Aku mendoakan apapun yang membuat kamu bahagia."
Lalu malam itu, kami mengobrol banyak dan tak tentu arah. Tapi kami berdua menikmatinya hingga lupa waktu.
Malam itu, secangkir kopi dan sekardus martabak telor menjadi saksi. Saksi bisu di mana aku dan Kenzo berbincang panjang lebar di malam hari. Hanya berdua. Di rumahku.
Satu hal yang tak pernah terjadi pada hidupku sebelumnya.
"Apa ini berarti sesuatu untuk kamu?" tanya Kenzo tiba-tiba. Aku menatapnya bingung. "Perbincangan kita malam ini. Apa semua ini berarti sesuatu?"
Seketika, aku mengangguk. Ya, sangat.
Kemudian, ia tersenyum melihat anggukanku. Bolehkah aku sedikit berharap?
***
To Be Continued
Ps: Aku penasaran di mana Alan berada saat ini :3
Pss: Hei! Ayo main ke AFTERTASTE dan semua cerita milikku! Semua cerita milikku tak kalah menarik dari TRAGIKO.. ----queentucky
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragiko [SEASON 2]
RomanceSeason 1 [FINISH] Season 2 [DISCONTINUED for some reasons] ••• Tragikó/adj causing or characterized by extreme distress or sorrow. ••• Mungkin seharusnya, kita tidak usah bertemu bila itu hanya menimbulkan luka yang bahkan hingga kini masih terasa...