Aku melihat Kak Velly di kantin pada jam istirahat. Ia tengah duduk berdua dengan teman perempuannya. Aku tidak tahu siapa dia? Mungkin Sabrina dan Angel tahu dia siapa?
Melihat Kak Velly membuatku teringat dengan sosok lelaki yang digosipkan menjadi 'pacarnya'. Jika rumor itu benar, kenapa mereka tetap bertunangan?
Astaga! Aku tidak bisa mengerti jalan pikiran kedua orang tua mereka.
Ya ampun. Aku merasa aneh ketika memanggilnya dengan sebutan 'kak'.
Sabrina mencolek bahuku pelan. Aku mengerjap. "Kenapa?"
"Kamu tidak mau ke sana?" Aku mengernyit. "Ke mana?"
Angel berdecak dan menjawab dengan gemas. "Ke Velly, lah! Labrak! Bilang, 'Apa maksud kamu kirim pesan waktu itu?'"
Aku mengerucutkan bibirku. "Berlebihan!"
"Jangan terlalu baik, Sayang..." Sabrina mengangguk. Menyetujui ucapan Angel. Aku memilih untuk mengabaikan mereka.
"Ayo, sana! Sekalian saja bilang, 'Kamu itu punya pacar! Kenapa tidak minta tunangan dengan pacar kamu saja! Jangan rebut Alanku!'"
Aku mendengus geli mendengar penuturan Sabrina. 'Alanku' katanya.
"Kalian juga tau, 'kan? Mereka dijodohkan. Itu bukan kemauannya juga. Bukan kemauan mereka."
"Setidaknya, kalau dia punya pacar, dia akan tetap menolak pertunangan itu. Juga, dia akan membawa pacarnya ke hadapan orang tuanya." Perkataan Sabrina membuatku menopangkan dagu dengan sebelah tangan. Aku menatap Sabrina dan Angel yang duduk di seberangku.
"Lalu, apa bedanya dengan Alan?"
Mereka berdua saling berpandangan. Merasa bingung dengan pertanyaanku.
"Sayang-sayangku... Alan juga tidak menolak pertunangan itu. Maksudku, dia memang tidak ingin pertunangan itu terjadi, tapi tetap saja, 'kan? Mereka bertukar cincin. Lalu, 'membawa pacarnya ke hadapan orang tuanya?' Apa aku pernah menceritakan pertemuanku dengan orang tua Alan?
"Jawabannya, tidak. Karena aku belum pernah bertemu dengan mereka. Jadi, apa bedanya Alan dengan Velly? Mereka sama-sama korban keegoisan orang tuanya. Dan mereka tidak bisa menolak."
"Dan kamu tetap diam di tempat seperti ini?" Angel menunjukku dengan kentang goreng yang ia dapatkan hasil pesan dari ojek online. "Pilihanmu hanya ada dua, Alena. Maju atau mundur. Bukan diam di tempat!"
Aku mengembuskan napas berat. "Entahlah. Aku hanya ... Belum bisa memutuskannya."
Sabrina memberikan senyuman simpulnya. "Aku mengerti. Hanya saja, jangan terlalu lama!"
Angel mengangguk, setuju dengan ucapan Sabrina. "Ini urusan hati, Sayang. Biar aku tidak pernah jatuh cinta, tapi aku tau rasanya patah hati."
Aku lantas tersenyum simpul pada mereka. "Terima kasih."
***
"Alena!" panggil si ketua kelas padaku.
Sejak kejadian tempo lalu, yang melibatkan aku dan perangkat kelas (ketua dan wakil ketua), kami tidak pernah bertegur sapa lagi. Sedikit kekanakan memang. Mungkin itu yang membuatku 'berani' kepada mereka.
"Kenapa?" tanyaku pada Tian yang berada di hadapanku.
"Dipanggil Pak Husen di ruangannya." Setelah ia mengatakan itu, ia segera berbalik pergi begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragiko [SEASON 2]
RomanceSeason 1 [FINISH] Season 2 [DISCONTINUED for some reasons] ••• Tragikó/adj causing or characterized by extreme distress or sorrow. ••• Mungkin seharusnya, kita tidak usah bertemu bila itu hanya menimbulkan luka yang bahkan hingga kini masih terasa...