22th page

92 15 3
                                    

Setelah kejadian mengejutkan di atas bianglala tadi, kami memutuskan untuk pulang dengan perasaan canggung. Sepertinya, hanya aku saja karena Alan tidak menampakkan ekspresi canggung sama sekali. Dia hanya diam sedari tadi.

Sesampainya di parkiran motor, Alan tertawa pelan. Aku mengernyit. "Hei! Jangan kesambet sekarang!"

Alan menggeleng. "Aku gak kesambet. Aku cuma ngerasa lucu aja."

"Lucu?" Ia tak menjawab pertanyaanku. Malahan, ia menyodorkan helm ke arahku. Aku menerimanya. Lalu, ia bertumpu pada kedua tangannya di atas stang motor.

"Iya, lucu. Harusnya, tadi itu jadi momen romantis buat kita. Sayang, bibir aku nyasar barusan."

Secara refleks, aku menunduk malu. Pasti wajahku telah memerah. Semoga saja Alan tidak melihat kedua pipiku yang memerah ini.

Aku memilih untuk menghiraukannya dan naik ke atas motornya. Lalu, memukul pelan pundaknya. Memberikan isyarat bahwa aku tak suka dengan pembahasannya kali ini.

Ia nampaknya mengerti dan memilih untuk melajukan motor besarnya.

***

Kedua temanku rusuh bertanya ini-itu di keesokan paginya. Seperti biasa, bahkan sebelum aku sempat menduduki kursiku.

"Jadi? Kemana kalian pergi semalam? Nonton?"

"Dinner romantis? Hmm, apalagi ya yang biasa dilakukan couple malam-malam, Ngel?"

"Ah, dasar jomlo!"

Mereka berdua sibuk adu mulut dengan aku yang risih mendengar perdebatan tidak penting mereka.

"Berhenti!" seruku kesal. "Apa-apaan, sih?! Aku gak pergi nonton semalam. Gak juga dinner romantis. Hanya ke pasar malam saja."

"Uuu... Itu terdengar lebih romantiisss," seru mereka berdua kompak dengan bernada. Aku memutar kedua bola mata jengah.

"Katakan! Apa yang terjadi di pasar malam itu? Alan menyatakan perasaannya padamu? Atau bahkan ... Menciummu?!"

Aku tersentak pelan mendengar tebakan dari Angel. Entah bagaimana caranya, ia mampu menebak dengan tepat. Kenapa aku memiliki teman yang selalu bisa meramal setiap hal tentangku?

"Ayo, cerita!" desak Sabrina. Aku mendesah pelan dan dengan berat hati menceritakan tiap detail pada mereka sambil berbisik. Takut ada orang yang mendengarkan obrolan kita.

***

"Tuh, kan! Aku benar, 'kan?" pekik Angel kegirangan. Sabrina nampak kecewa mendengar ceritaku. Sedangkan aku menatap keduanya tak mengerti.

"Mana?" tagih Angel pada Sabrina sambil membuka kedua telapak tangannya. Sabrina mencebikkan bibirnya kesal sembari merogoh saku bajunya.

Ia memberikan selembar uang kertas berwarna biru pada Angel yang tengah tersenyum senang. Aku memelototkan mata tak percaya.

"Kalian bertaruh?! Demi hal kacang seperti ini?!"

"Apa maksud dari 'hal kacang' yang kamu maksud? Ini suatu hal yang besar. Yang patut dipertaruhkan! Dan kebetulan, aku dapat menebaknya dengan sangat tepat," balas Angel.

Aku hanya mampu terdiam. Tak menyangka akan mendapatkan teman seperti mereka berdua. Beruntunglah kalian. Aku masih menyayangi nyawa kalian.

"Omong-omong, jangan terlalu lama menggantung Alan! Masih ada ratusan anak gadis yang menunggu dilirik olehnya selain kamu, Alena."

***

Tragiko [SEASON 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang