Sorry, the number you're trying to reach is not reachable. Please try again later.
Aku berdecak kesal mendengar suara operator yang sedari tadi menggaungkan kata-kata yang sama. Dalam hati, aku resah.
Ini sudah ke sekian kalinya aku menelpon Kenzo. Berharap aku bisa menghubunginya dan menanyakan alasannya pindah--atau apapun itu. Tapi, harapanku hanyalah sebuah kesia-siaan. Nyatanya, nomor teleponnya tidak aktif. Begitupula dengan media sosialnya yang sudah tidak aktif sejak seminggu yang lalu.
"Masih nelponin dia, huh?" tanya Angel dengan nada jengahnya sembari memakan sepotong apel.
Aku memilih untuk tak menjawab
dan menjatuhkan diri di atas sofa kamar."Andai aku Sherlock Holmes, mungkin aku sudah melakukan penyelidikan sejak Kenzo pindah tiga hari yang lalu," sahut Sabrina dari balik meja komputerku.
"Ah... Sherlock Holmes," gumamku secara refleks. Mereka berdua menatapku dengan pandangan aneh. "Kenzo suka baca cerita Holmes," tuturku.
"Pantas," Sabrina menjeda ucapannya sejenak. "Ia pindah tanpa menimbulkan jejak."
"Mempersulit Alena mencari keberadaannya!" goda Angel setengah tertawa. Sabrina pun ikut tertawa dengan aku yang mencebik kesal.
"Sudahlah! Mungkin ini waktunya kamu untuk move on. Kamu masih punya Alan, 'kan? Lagipula, Alan jauh lebih perfect daripada Kenzo."
Aku berdecak kesal mendengar opini Angel. "Tidak semudah itu! Lagipula, mungkin Alan hanya sempurna di matamu saja."
"Yang benar?" Kini, Sabrina yang menggodaku. Lagi-lagi, mereka berdua tertawa. Dengan kesal, aku melemparkan keduanya bantal sofa tepat ke wajah mereka masing-masing.
***
Alan mendatangi rumahku sore itu secara tiba-tiba. Kehadiran kedua temanku di rumah saat itu membuat mereka berdua histeris begitu melihat Alan di ruang tamu.
"Diamlah! Kalian brisik sekali, sih!? Persembunyian kalian akan sia-sia kalau begitu caranya!" seruku sambil berbisik saat akan membawakan minuman untuk Alan.
Angel dan Sabrina tengah berada di dapur saat ini. Kejadiannya hampir mirip saat Kenzo yang mendatangi rumahku malam itu. Ah, Kenzo.
Bedanya, alih-alih untuk pulang, mereka berdua malah sengaja diam di dapur agar bisa melihat Alan lebih lama.
"Ada perlu apa repot-repot datang ke rumah?" tanyaku saat telah berada di hadapan Alan sambil sibuk menyuguhkan secangkir teh manis hangat ke hadapannya. Ia terkekeh pelan.
"Ingin saja. Kalau boleh, aku akan mengajak kamu pergi malam ini." Aku menelan salivaku susah payah. "Omong-omong, kamu tinggal sendiri?" lanjutnya. Aku menggeleng.
"Aku tinggal dengan mama. Ayah sedang ada perjalanan bisnis di luar kota. Tapi saat ini, mama sedang pergi arisan di rumah temannya sejak tadi pagi. Aku sebenarnya sangsi, sih, arisan akan selama ini."
Ia terkekeh pelan. Aku ikut terkekeh dengannya. "Kalau gitu, kita tunggu mama kamu dulu. Aku mau izin bawa anak gadisnya jalan-jalan malam ini. Kamu masih bisa menunggu, 'kan?" ucapnya lagi. Aku menyisipkan sejumput rambut ke belakang telinga sebelum menunduk dengan malu-malu.
Sial! Kenapa aku malah malu-malu begini?!
"Omong-omong, rumah kamu bagus."
Ah, ya. Aku mengerti dengan basa-basi ini. Alan pasti tidak punya banyak bahan obrolan untuk saat ini. Baiklah. Aku mengerti.
"Terima kasih. Mama suka hal-hal yang unik. Dia cukup kreatif. Dan kamu tau? Mama mengambil alih 100% untuk masalah dekorasi di rumah ini," balasku semangat. Mencoba agar kami tak kehilangan topik pembicaraan.
"Kamu liat kolam ikan itu?" Aku menunjuk kolam ikan di sudut ruangan. "Mama yang memberikan ide membuat kolam ikan di sana. Tapi ayah tidak setuju--awalnya. Ayah pikir, akan banyak nyamuk nantinya. Tapi mama keras kepala hingga akhirnya ayah mengalah."
Alan tersenyum simpul. "Apa semua wanita seperti itu? Keras kepala? Tidak mau kalah?"
Aku diam. Aku ingin mengelaknya. Tapi aku juga tidak jauh berbeda seperti mamaku. Kami punya kepala batu yang hampir mirip. Ayahku bilang, itu warisan dari mama.
Untunglah. Mama datang tak lama kemudian.
"Hei! Siapa ini?" tanyanya berseru dengan nada riang padaku. Aku punya firasat mama memenangkan arisan itu.
"Kenalin, ma. Ini Alan. Kakak kelas aku."
"Yakin cuma kakak kelas?" tanya mama menggoda. Tidak hanya menggodaku, tapi juga Alan. Aku terkekeh pelan menutupi rasa malu-maluku. Terutama Alan. Ia terlihat jelas sekali tengah bersemu malu.
"Ya sudah! Tante masak dulu bentar, ya? Kita makan malam bersama, mau?" tawar mama. Alan menolaknya dengan halus.
"Alan justru mau minta izin ke tante buat ajak anak gadisnya jalan malam ini. Jadi, gak usah repot-repot, Tante."
"Oh, gitu ya?" Mama terdengar sedikit kecewa walau akhirnya ia mengangguk sambil tersenyum. "Gak ngerepotin sama sekali, kok! Jadi, mau berangkat jam berapa kalian? Kamu belum siap-siap, Len?"
Aku menggeleng pelan. Mama menjewer pelan sebelah telingaku sebelum mengomel.
"Pacar mau apel bukannya dandan yang cakep, yang cantik, malah lusuh kayak gini! Dandan sana! Udah tau mau ada yang ajak jalan. Bukannya siap-siap malah masih kayak gembel! Sana mandi!"
Aku meringis pelan sembari memegang telingaku yang masih dijewer mama. "Lepasin, ah! Sakit, ma! Lagian, aku udah mandi juga!"
"Udah mandi tapi masih lusuh kayak gitu! Mandi lagi sana! Jangan lama-lama!"
Kemudian, mama melepaskan jewerannya padaku. Sebelum mama mendaratkan lagi jari-jari lentiknya di atas telingaku, aku telah lebih dulu lari ke kamar mandi.
***
Aku melihat mama tengah asik mengobrol dengan Alan di ruang tamu. Yang awalnya hanya tersedia teh manis hangat di atas meja, kini bertambah dengan kehadiran brownies coklat.
"Sshht! Sshht!" Aku menengok ke sebelah kanan dan menemukan kedua temanku tengah bersembunyi di balik tembok dapur.
"Kamu mau pergi?" tanya Angel. Aku mengangguk.
"Dengan baju seperti itu?!" seru Sabrina. Aku mengecek ulang bajuku dengan hati-hati dari atas hingga sepatuku.
"Kenapa memangnya? Tidak ada yang salah dengan bajuku."
"Tentu saja salah! Jangan pakai jins! Lebih baik pakai rok atau dress sekalian!" sahut Angel gemas. Aku mengerucutkan bibirku.
"Aku tidak suka pakai rok selain seragam sekolah. Dan jangan suruh aku pakai dress. Dress hanya untuk di saat-saat yang mendesak," tolakku.
"Saat ini juga mendesak! Jadi cepat pakai dress kamu! Ayo, cepat!" titah mereka berdua memaksa sambil mendorongmu pelan menuju tangga ke arah kamarku.
Dengan berat hati, aku mengikuti ucapan keduanya dan kembali turun ke lantai bawah dengan dress bermotif floral.
Mereka berdua tersenyum cerah melihat penampilanku yang baru. Tak lupa, ia mengingatkanku agar selalu tersenyum di setiap kesempatan. Sudah seperti ajang Miss World saja.
Tanpa banyak membuang waktu untuk berpamitan pada mama, aku dan Alan segera pergi meninggalkan rumah di saat hari sudah amat petang.
***
PS. Marhaban ya Ramadhan!! But sadly, keknya aku akan lebih fokus buat nyelesain AFTERTASTE. Tapi tenang ajaa... TRAGIKO akan tetep apdet kok! Cuma waktunya tambah lama aja.. Hehe. Jadi saran aku sih, mending baca AFTERTASTE aja dulu😅😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragiko [SEASON 2]
RomanceSeason 1 [FINISH] Season 2 [DISCONTINUED for some reasons] ••• Tragikó/adj causing or characterized by extreme distress or sorrow. ••• Mungkin seharusnya, kita tidak usah bertemu bila itu hanya menimbulkan luka yang bahkan hingga kini masih terasa...