24th page

96 16 0
                                    

Hari ini, aku tidak bertegur sapa dengan Alan. Sama sekali tidak.

Tidak apa-apa, sih. Hanya ... Aku merasa sedikit aneh saja. Sedikit.

Aku jadi berpikir bahwa yang semalam itu hanya omong kosong belaka. Kalau memang benar begitu, untuk apa ia melakukan semua ini? Mendekatiku bahkan hingga menjadikanku barang taruhan.

Ah! Aku mengerti sekarang. Mungkin, ia mengambil hadiah taruhannya semalam. Seharusnya, hadiahnya adalah bibirku. Tapi, karena aku mengelak, ia harus puas dengan sisi lain dari bibirku.

Baru saja aku memikirkannya, Alan muncul di parkiran sekolah. Tepat di samping motornya.

Tanpa sadar, aku telah terlalu lama menatapnya hingga Kak Velly datang menghampiri Alan dan menggandengnya mesra.

Kupikir, Alan akan mencoba untuk menepis gandengannya. Tapi, aku salah. Alan hanya diam dan bahkan tak berkutik saat Kak Velly menduduki bagian belakang jok motornya.

Entah hanya perasaanku saja atau bukan, aku mendengar sesuatu yang patah dan remuk dari dalam diri.

***

Malamnya, pikiranku terusik oleh tingkah laku Alan hari ini. Memoriku mengulang kembali apa yang terjadi satu harian ini. Dan mau tidak mau, aku merasa marah.

Siapa yang tidak marah saat ia tak diacuhkan oleh orang yang baru saja mengutarakan rasa cinta?

Parahnya, bahkan pengakuan cintanya itu belum ada 24 jam!

Dengan kesal, aku melemparkan pulpenku secara refleks hingga terpental dan akhirnya jatuh di bawah meja belajarku. Tepat saat aku akan mengambilnya, telepon genggamku berdering. Menandakan ada seseorang yang menelponku.

Secepat kilat, aku mengangkat kepalaku hingga terbentur pelan dan menjawab panggilan telepon itu sambil meringis.

"Halo?"

"Hai!" Balasan sapaan dari ujung sana membuatku melihat caller id-nya seketika.

Alan.

"Kenapa?" Tanpa sadar, aku menjawab panggilannya dengan nada malas.

"Emm, gimana sekolahnya tadi?"

Kalau boleh jujur, sekolahku tidak berjalan dengan baik hari ini. Dan itu semua karena kamu. Kamu menyebalkan!

Tapi aku tidak mengatakan itu semua. Yang keluar hanya jawaban, "Biasa aja." Lengkap dengan nada datarnya.

Ia terdiam sebentar. Hanya deru nafasnya yang dapat kudengar dari seberang sini.

"Le?" Aku menjawab panggilannya dengan dehaman pelan. "Sudah punya jawaban untuk pertanyaanku kemarin malam?"

Jantungku berdegup kencang. Dua kali lipat dari biasanya saat mendengar pertanyaan mendadak keluar dari mulutnya. Namun, mengingat apa yang telah terjadi satu hari ini...

"Maaf, sepertinya, kamu tidak bisa mendapatkanku."

"Mendapatkanmu?" balasnya balik bertanya. Aku tak menjawab.

"Ada yang salah dari perkataanmu. Seharusnya, memilikimu. Bukan mendapatkanmu. Kamu bukan sesuatu yang harus kudapatkan. Tapi kamu sesuatu yang harus kumiliki."

Aku mencebikkan mulutku. Jengah dengan kata-kata sok romantisnya itu. "Hentikan, Alan! Aku muak!"

Ia terkekeh pelan. "Oke, oke! Aku berhenti. Tapi, aku serius saat mengucapkannya."

"Aku juga serius saat menolakmu."

"Aku sedang ditolak?" Dengan refleks, aku memutar kedua bola mata. "Tentu. Apalagi memangnya?"

Dia diam, lagi.

"Baiklah. Kamu boleh menolakku untuk hari ini, esok, lusa dan kapanpun itu. Tapi aku akan selalu menantikan kabar baik darimu untuk selamanya."

"Oh, jangan lagi! Kamu akan menemukan gadis yang jauh lebih sempurna dariku. Aku yakin."

"Ya, aku tau. Tapi ini bukan masalah siapa yang lebih sempurna, siapa yang lebih baik, tapi tentang siapa yang kuinginkan. Dan jawabannya adalah kamu. Selalu kamu, Le. Bukan orang lain."

Giliran aku yang terdiam. Ucapannya itu persis seperti sihir yang mampu melumpuhkanku seketika. Aku tak dapat berkutik. Sama sekali tak dapat berkata-kata. Hingga ia menutup sambungannya.

"Selamat malam, Le. Tidur nyenyak. Dan mimpikan aku."

Tidak. Aku tidak mau memimpikanmu. Aku tidak sudi. Aku tidak ingin kamu hadir di mimpiku. Aku ingin kamu hadir di hidupku. Menemani hari-hariku secara nyata, bukan hanya lewat mimpi.

***

Tragiko [SEASON 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang