Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Mataku menatap kosong langit-langit kamar yang bertabur bintang warna-warni. Otakku tak hentinya memutar kembali percakapan antara aku dengan Kenzo beberapa jam yang lalu.
Itu percakapan yang sangat berarti untukku. Entah apa itu berarti pula bagi Kenzo. Tapi bila boleh kutebak--atau mungkin berharap, itu berarti sesuatu pula baginya.
Apa yang spesial dari percakapan kami tadi sebenarnya?
Aku bertanya berulang-ulang kali dalam hati. Dan berulang-ulang kali pula aku menjawab dengan jawaban yang sama.
"Aku tidak tau. Sama sekali."
Itu hanya percakapan biasa. Hanya percakapan antar teman yang meliputi tugas sekolah dan lain halnya.
Kebanyakan mengenai kesukaan. Kesukaan kami hampir mirip. Membaca buku. Bedanya, ia pecinta buku misteri. Pecinta tokoh Sherlock Holmes. Dan aku? Aku sama seperti gadis lainnya. Pecinta karangan fiksi remaja yang romantis.
Walau berbeda genre, tapi kami tetap membahasnya. Aku tak masalah dengan Sherlock Holmes kesukaannya. Dan dia pun terlihat tak masalah dengan kisah roman picisan ala remaja yang kusuka. Setidaknya, itu yang kutahu.
Percakapan itu berlangsung lama. Dua jam. Dan itu berjalan dengan menyenangkan.
Aku berpikir, kenapa tiba-tiba?
Setelah mengenalnya selama satu tahun ini, Kenzo baru hari ini main ke rumah untuk mengobrol banyak. Di malam hari.
Ini janggal dan terlihat seperti tak nyata.
Dan aku kemudian memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Mungkin, Kenzo bosan di rumah.
Tapi kupikir, dia punya banyak teman selain aku untuk menghilangkan rasa bosannya.
Mungkin, Kenzo ingin main ke rumahku.
Itu kemungkinan yang paling mungkin. Tapi kupikir, kenapa? Kenapa ia ingin main ke rumah?
Aku tidak melarang, sama sekali. Tapi kurasa, ia bisa main ke rumahku di saat matahari masih bersinar terik. Tak usah menunggu bulan tiba bila hanya ingin main ke rumah.
Dan akhirnya, aku menyerah. Terserahlah apa maksud ia tadi datang ke sini.
Inginnya, aku tidur. Aku sudah lelah seharian ini. Namun, satu pesan singkat menggagalkan rencanaku.
Aku meraih telepon genggamku dan melihat notifikasi pesan Whatsapp di lockscreen.
Alan.
Pelan-pelan, aku membaca pesannya.
Masih minat untuk eksperimen?
Ah, ya. Aku kembali teringatkan. Setelah sekian lama ia tak muncul, kini ia kembali muncul dan mengingatkanku atas eksperimen bersama yang menjadi alasan kami saling berbagi nomor.
Aku membuka aplikasi Whatsapp dengan segera. Lalu, ragu-ragu, aku menjawabnya.
Boleh. Kapan?
Balasan lainnya datang tidak cukup lama. Dan jawabannya membuatku sedikit terkejut.
Besok. Bagaimana?
Secepat itu?
Alan mengetik...
Bukannya lebih cepat itu lebih baik?Dan kemudian, aku mengalah. Aku pikir, tidak ada gunanya berdebat tentang hal ini. Karena mau besok ataupun lusa, kami akan tetap bereksperimen bersama. Bukankah aku sudah menyanggupinya tadi?
Jadi, aku hanya membalasnya dengan satu kata.
Oke.
Aku tak berharap ia menjawabnya. Jawabanku sudah sangat jelas dan Alan tak perlu membalas apapun lagi.
Tapi ternyata, aku salah. Alan kembali membalas pesanku. Balasan yang bahkan tidak berkaitan dengan topik yang tengah kami bahas. Dia bilang,
Oke. Sleep tight.
Aku hanya membaca pesannya. Mataku berusaha keras untuk terpejam tanpa memikirkan apapun tentang pesan Alan tadi.
Dan hal terakhir yang aku ingat, diambang batas kesadaranku, aku bergumam pelan.
Dua lelaki. Dua perangai. Banyak kemungkinan. Mereka memusingkan.
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragiko [SEASON 2]
RomanceSeason 1 [FINISH] Season 2 [DISCONTINUED for some reasons] ••• Tragikó/adj causing or characterized by extreme distress or sorrow. ••• Mungkin seharusnya, kita tidak usah bertemu bila itu hanya menimbulkan luka yang bahkan hingga kini masih terasa...