Dimas menepuk-nepuk kepala Ken yang tertidur sangat pulas di bangkunya. Bel istirahat sudah berbunyi hampir 3 menit yang lalu.
"Ken! Astagfirullah, bangun Ken! Ayo istirahat. Lo maag lagi nanti," Dimas menggoyang-goyang tubuh Ken amat keras.
Ken meringis, "Bangun gue bangun, berapa menit?"
Dimas melirik jam tangannya, "Kurang 25 menit lagi,"
Ken menyugar rambutnya, lalu berdiri. Menarik Dimas berjalan keluar kelas. Menguap sebentar, dan kembali membuat wajah datar. Dimas menoleh, tangan Ken masih di silangkan ke lengannya."Apa?" Ken menoleh.
Dimas menggeleng,"Gak papa," lalu membuka game di hpnya dengan satu tangan.
Pintu masuk Kantin terlihat dipenuhi murid kelas 10,11,12 berkerumun seperti mengantri sembako. Ken melepas tangannya dari lengan Dimas ketika tinggal beberapa langkah dari pintu kantin.Cowok itu merengsek ke depan. Anak-anak otomatis membuat sebuah jalan agak lebar. Dimas mengikuti di belakangnya, sedikit penasaran. Ken berhenti di pinggiran lingkaran para siswa yang terlihat agak longgar.
Ada Anggar disana.
Dimas menyenggol salah satu teman ekskulnya, "Ada apa?"
"Aira ditampar." singkat, padat dan jelas. Dimas terkejut hingga matanya melotot sempurna.
Teman Dimas kembali bersuara," Tapi Aira gebukin tu cowok sampe gk bisa berdiri," Dimas ternganga.
Ken berusaha merengsek melihat apa yang terjadi, tubuhnya yang tinggi besar agak kesulitan untuk terus maju ke depan. Ia berhenti tepat di samping Anggar, belum peka sekitar.
"Ada apa?"
Anggar menoleh, wajahnya semringah, "Afa mampus di tangan sepupu gue," sehabis berkata itu, sebuah tepukan ringan mendarat di bibir Anggar.
"Jaga omongan," Amara, berdiri di samping Anggar, rada-rada meringis menatap titik tengah lingkaran yang menjadi pusat perhatian.
Ken melihat apa yang dilihat Amara dan Anggar, sedikit terbelalak.
Gimana nggak, Aira dengan rambut di kuncir satu dan peluh membasahi wajahnya sedang berjongkok di depan Afa yang terduduk ditemani kedua teman di sisi kanan-kirinya yang terlihat ketakutan."Gue omongin sekali lagi ya, Perempuan emang gak di ciptain kuat dari lahir kayak lo laki-laki. Tapi, jangan sekali-kali lo ngerendahin, mukul atau bahkan ngehina perempuan kayak lo ngehina Devianna dan nampar gue," Aira berdiri dan membersihkan baju seragamnya yang kotor.
Afa tersenyum kecil, "Wah, gue di habisin sama cewek kecil kayak lo?"
"Masih berani mulut lo? Gue masih kuat buat satu ronde,"
Senyum Afa hilang. Afa terdiam, memberi isyarat kedua temannya untuk segera membantunya pergi.
Aira menatap kepergian Afa dan teman-temannya dengan mata tajam, beralih kepada Devianna yang masih setia berdiri menonton pertunjukan itu.
"Makasih kak," Devianna menyodorkan air mineral.
Aira menerimanya dengan wajah datar, meminum beberapa teguk sekaligus."Lo jangan mau dihina orang kayak dia, yang ada harga diri lo di injek-injek, mikir dulu kalo mau suka orang," suara Aira dingin.
Anggar terdiam, Amara tertegun. Ucapan Aira sungguh mencekam.
Ken menatap Aira lama. Sedikit tercengang sebenarnya. Mata coklatnya bertubrukan dengan mata abu-abu Aira sekilas sebelum Aira mengalihkan pandangan. Berjalan ke luar kantin. Meninggalkan kerumunan siswa yang sudah asik berdengung membicarakannya.🐝🐝
Ken menatap Dimas yang sama-sama menatapnya.
"Kaget gak?" Dimas bertanya.
Ken mengangguk, "Banget. Gue kira dia kurus kerempeng gitu gk ada tenaganya," tangannya bergerak mengaduk es teh di atas meja.
Anggar menoyor kepala Ken agak keras dari belakang, "Gila lo, kurus kerempeng?"
Ken mengaduh, tenaga Anggar besar sekali, dia yakin kepalanya akan benjol nanti.
"Tau nih, si Ken. Dia itu kecil dan mungil. Bukan kurus kerempeng. Gk beretika banget lo, ngata-ngatain anak orang," sahut Dimas. Mulutnya setengah terisi makanan.
Anggar mengangguk-angguk setuju, menunggu pesanan nasi gorengnya datang. Di pintu kantin, terlihat Amara berjalan sendirian, tanpa Aira. Anggar dengan cepat melambaikan tangan.
Ken meminum minumannya dengan cepat. Tiba-tiba perutnya terasa kenyang.
"Gar, Aira dipanggil noh sama BK," kata Amara setelah duduk dengan nyaman di sebelah Anggar.
Yang diajak bicara hanya bergumam sambil memainkan hp, "Biasa aja, Aira paling gak suka kalo direndahin kayak gitu. Apalagi sampe ditampar, keterlaluan banget itu mah. Wajar aja Aira ngamuk,"
Ken mendongak, wajahnya seakan bertanya apa maksudnya. Amara menggeleng tanda tak tahu secara jelas.
Anggar menetralkan tenggorokannya ketika wajahnya bersitatap dengan tiga wajah lainnya dan meletakkan hp di atas meja.
"Jadi gini, eh tapi tunggu dulu. kalian-kalian jangan bocor. Apalagi kamu Mara, jangan gabung sama cewek-cewek gosip gak jelas," Anggar memperingatkan. Amara memutar bola mata jengkel, sejak kapan dirinya bergaul dengan anak semacam itu.
Anggar menarik nafas dalam, "Aira itu punya semacam phobia. Phobia ini salah satu phobia langka. Mungkin hanya berapa belas persen orang-orang yang memilikinya,"
"Nama Phobianya kalo gak salah itu Philopobhia. Phobia ini punya ketakutan berlebihan akan jatuh cinta atau bahkan dicintai."
"Baru setahun setengah Aira mengidap phobia ini. Mungkin karena dia ditinggal cinta pertamanya dengan cara yang menyakitkan," Anggar tersenyum kepada Ibu - ibu yang mengantar minuman dan makanannya.
Amara masih setia mendengarkan.
"Cinta pertama? Ditinggalkan? Maksudmu Aira trauma?" tanya Dimas.
Anggar mengangguk," seratus buat lo."
"Cinta pertama Aira namanya Farhan. Tapi, sayangnya Farhan sudah berpulang. Aira menyaksikan itu di depan matanya sendiri. Farhan menyelamatkan gadis yang ia sukai dari tengah jalan dan mengorbankan nyawanya sendiri, "
"Ngerti maksud gue?" tanya Anggar.
Ketiganya mengangguk serempak, beberapa detik kemudian, menggeleng sambil cengengesan. Anggar terdiam. Kesal tentu saja.
"Jadi perasaan Aira itu bertepuk sebelah tangan gitu, Masak gue harus jelasin sedetail itu? Kamu juga gak ngerti Ra?"
Amara tersenyum kecil, "Ngerti kok ngerti,"
Ken menopang dagu, merasa aneh dengan kata yang baru pertama kali ia dengar."Waktu pertama kali Aira masuk, Gue liat dia di atas rooftop. Buat origami angsa gitu, cuma warna item," Ken meminum kembali minumannya.
"Hem, itu kebiasaan dia. Suka tempat tinggi." Anggar menyendok sesuap nasi goreng kepada Amara.
"Jadi, sejak satu tahun setengah ini, Aira kena phobia itu?" tanya Ken lagi.
Anggar hanya mengangguk, "Ya, berkali-kali di tembak, berkali-kali juga nangis di kamar bareng Alea,"
"Siapa lagi Alea?"
"Kakaknya, ralat. Kembarannya."
Amara kaget,"Kembaran kok beda 3 tahun?"
"Kata Mama Aira itu. Ya mana aku tau Ra,"
Semuanya terdiam agak lama. Sibuk dengan urusan masing-masing.
"Udah ngomongin gue nya?" suara itu seketika menghentikan pergerakan keempat orang di meja itu.
Aira berdiri di samping meja, menatap keempatnya satu-satu. Gadis itu sudah berganti pakaian lagi. Rambutnya kini di kepang satu. Ken menatap Aira, mata abu-abu Aira balik menatapnya tajam.Yah.. Masak gue tertarik ke Lo sih Ai?
🐝🐝🐝
TBC..Waitingg..

KAMU SEDANG MEMBACA
Reasons Why {SELESAI}
Teen Fiction"Kecapekan lo ya? Sini, lo gak bersih banget," Kata Aira. Tangan kanannya memegang wajah Ken, sedangkan tangan satunya membersihkan hidung dan pipi Ken yang masih agak penuh dengan bercak darah. "Ai," "Hm?" "Gue boleh minta sesuatu gak?" Tanya Ken s...