.
.
.Setelah sebulan lebih Aira dirawat di rumah sakit, seharusnya tadi pagi dia sudah dibolehkan pulang, tapi Aira malah pingsan di pelukan Alea ketika mereka bersiap-siap pulang.
Mama dan Alea duduk di kursi depan ruangan Aira dirawat. Sedangkan Papa, Ken, dan Anggar berdiri sambil bergerak tak tentu arah, berusaha menenangkan diri sendiri.
Dokter Raha keluar dengan pelan dari ruangan itu, tatapan matanya sayu dan sedih, "Bu Adin dan Pak Amar, anda sudah tau kan jika benjolan di lengannya sudah tak ada dan Aira hampir sembuh 80℅."
"Tetapi, Kami sudah mengecek lagi sel kankernya hari ini. Yang menyebabkan Aira demam dan menggigil, dia juga mengeluh sakit dada yang parah, dan pembengkakan di bagian perut," Kata Dokter Raha, "Kami menemukan sel kanker yang kembali bersarang di tulang sumsumnya."
"Apa?" Papa menajamkan pendengaran, tangannya saling meremas.
"Ada sel kanker yang bersarang di tulang sumsumnya, kami hanya bisa memprediksi hidup Aira tinggal 6 bulan lagi,"
Mama histeris, Alea memeluk Mama erat. Papa tertunduk, membiarkan bulir air mata jatuh membasahi pipinya.
Anggar memukul tembok satu kali, wajahnya memerah, antara menahan tangis atau menahan marah.
Hanya Ken yang berwajah datar, cowok itu sangat shock hingga dia tak bisa berkata apa-apa.
"Tapi, tunggu dulu. Kita masih memiliki harapan jika ada pendonor tulang sumsum untuk Aira kurang dari setengah bulan lagi," Dokter Raha menjelaskan.
Papa tiba-tiba pingsan, membiarkan seluruhnya panik untuk yang kedua kalinya.
.
.
.Ken belum berani masuk ke dalam ruangan Aira, sampai-sampai Anggar harus mendorongnya.
"Gue gak berani, gue gak berani natap dia Gar!" Sentak Ken. Ia teringat diagnosis Dokter Raha terhadap kekasihnya.
"Lo pikir dia gak ngebutuhin lo di dalam sana? Dia berjuang ngelawan maut bego!" Geram Anggar.
Ken menggeleng, sadar akan hal itu. "Gue takut liat matanya,"
"Apa yang lo takutin Ken? Dia tetep Aira kita," Anggar melunak. Baru kali ini ia melihat Ken sedown ini.
"Gue takut gue gak bisa janjiin kehidupan buat dia, gue takut dia ngira gue bohong tiap kali gue bilang dia pasti sembuh, gue takut ngadepin kenyataan kalo pada akhirnya dia bakal direnggut dari gue, gue takut gak bisa liat matanya lagi,"
Anggar mendesah,"Dengerin gue, itu cuma diagnosa dokter. Aira bisa sembuh kalo dia dapet donor tulang sumsum belakang kurang dari sebulan,"
"Gue takut," Cicit Ken lagi.
"Semua yang bisa ngalahin ketakutan lo cuma ngadepin kekuatan itu sendiri, oke? So stop that feeling and go there. Aira nunggu,"
Ken menghela nafas, apapun yang terjadi dia memang harus menemani gadis-nya.
Pintu dibuka pelan oleh Ken, dan yang pertama kali dilihat matanya adalah Aira yang setengah duduk setengah berbaring di atas ranjang.
Gadis-nya diharuskan untuk menggunakan alat bantu nafas lagi.
Menyakitkan sekali bagi Ken walaupun ia sudah sering melihat hal itu."Ken?" Aira memanggil pelan. Suaranya lemah dan bergetar.
Ken menahan air matanya sekuat mungkin. "Hey, udah enakan?" Ken meraih tangan Aira yang berada di pangkuan gadis itu.
"Aku mau ngomong," Bisik Aira.
Ken terdiam, "Mau ngomong apa Ai?"
"Putus,"
"Apa? Ulangi lagi," Ken menajamkan pendengaran.
"Aku mau kita putus," Bisik Aira lagi. Kali ini ia tak mau menatap Ken.
"Dan ada alasan apa kamu minta kita putus?" Tanya Ken, rautnya melunak. Ia tahu Aira tak semudah itu mengucapkan kata putus.
Aira menggeleng, "Aku tau hidup aku udah gak lama, aku cuma mau kasih kamu ruang biar kamu bisa cari cewek lain,"
Ken meremas tangan gadis-nya," Kenapa kamu nyuruh aku nyari cewek lain? Aku bisa pastiin kamu sembuh,"
"Aku mau kamu cari cewek yang lebih sehat, lebih baik. Bisa ada buat kamu, gak kayak aku. Aku sakit Ken, aku sakit." Air mata mulai menuruni wajah pucatnya.
Ken merengkuh Aira ke dalam pelukannya. Tak menjawab satu patah kata pun.
"Kenapa kamu gak jawab apa-apa?" Aira bertanya setelah agak tenang.
Ken tersenyum lembut, "Aku tau kamu lagi sensitif, "
"Tapi, aku beneran minta kita putus."
"Aku menolak,"
Aira mendesah, merasa lega walau tak tampak.
"Aku takut kamu gak kuat dampingin aku,"
"Dari awal aku jadi pacar kamu, aku bener-bener tulus. Kamu gak usah khawatirin itu. Karena aku yakin, kita bakal tua bareng," Goda Ken.
Wajah Aira bersemu.
"Kalo ada yang lebih cantik?" Tanya Aira.
"Kamu paling cantik menurut aku,"
"Kali ada yang lebih pinter?"
"Kamu tetep paling pinter,"
"Kalo ada yang lebih sayang kamu daripada aku?"
"Aku tetep milih kamu,"
"Kalo ada yang lebih sehat?"
"Gak ada yang bisa ngebuat aku berpaling Aira, nggak kemaren, sekarang, ataupun besok,"
Aira mengerucut, tapi dia senang.
"Udah?" Tanya Ken.
"Apanya?"
"Nanyanya,"
"Iya,"
"Kamu tau nggak kalo aku habis kegemu bidadari?" Pertanyaan Ken jelas membuat Aira bingung.
"Siapa?"
"Yang lagi nanya,"
"Ih, siapa aku tanya?"
"Yang lagi cemberut,"
"Apa?"
"Yang lagi duduk di depan aku sambil duduk terus nanya siapa,"
Aira baru mengerti jawaban Ken.
Ia paham dan mencoba percaya, Ken akan selalu ada. Sekarang maupun besok.Ketika dia membuka mata, Ken akan disampingnya.
.
.
.Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Reasons Why {SELESAI}
Ficção Adolescente"Kecapekan lo ya? Sini, lo gak bersih banget," Kata Aira. Tangan kanannya memegang wajah Ken, sedangkan tangan satunya membersihkan hidung dan pipi Ken yang masih agak penuh dengan bercak darah. "Ai," "Hm?" "Gue boleh minta sesuatu gak?" Tanya Ken s...