Buku 21

782 52 1
                                        

.
.
.
Amara dan Anggar sudah mengetahui hubungan baru Ken dan Aira.

Mereka tau karena merekalah yang membantu persiapan semalam.
Alea dan Mama juga tau, mereka sangat-sangat senang ketika tahu Aira pacaran dengan Ken yang sopan, baik, dan ganteng.

Dan sejak Ken dan Aira resmi berpacaran, Ken menjadi sedikit protektif kepada Aira. Tapi, cowok itu masih sadar mana batasan untuk menjaga Aira.

Ken selalu meminta ijin ketika akan berpegangan tangan, ketika ingin memeluk. Dan Aira sangat menghargai kesopanan Ken.

Ken juga meminta ijin untuk mengantar Aira ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan.
Seperti hari ini.

"Bareng aku apa bareng mama?" Tanya Ken ketika melihat Aira sudah turun dari kamarnya.

Ken juga memanggil tante adin dengan sebutan mama, itu pasti suruhan mama. Mama terlalu seneng waktu Aira pacaran ama Ken.

"Sama Ken aja, Mama biar sama Kak Alea. Anggar ikut juga katanya," Mama menyela dari dapur.

"Sana gih, berangkat duluan. Mama sama kak Alea nyusul," Alea mendorong-dorong pelan bahu Adiknya jahil.

"Iya, Aira berangkat ma, kak," Aira menyalimi kedua wanita hebatnya, diikuti Ken.

Ken berjalan lebih dulu menuju mobil, membukakan pintu untuk Aira. Ken masih berumur 16 tahun jadi belum boleh mengendarai mobil sendiri.

"Obatnya dibawa kan Ai?" Ken mengecek keadaan Aira sesaat sebelum berangkat.

"Udah Ken," Aira menggenggam tangan Ken lembut, kadang Aira bingung, dia yang sakit tapi Ken yang terlihat panik.

"Kalo lupa, kita balik ya, coba dicek dulu di tas kamu,"

Aira tertawa, "Astaga, Aku bawa by... Nih liat kalo gak percaya," Aira menunjukkan obat yang biasa dibawanya.

Ken baru tenang ketika Aira menunjukkan obatnya. Balas menggenggam tangan Aira pelan sebelum menjatuhkan kepala Aira ke bahunya.

"Hari ini radioterapi kan?" Bisik Ken.

Aira hanya mengangguk sebagai balasan, "Rambut aku jadi rontok banyak waktu terakhir kali terapi itu,"

Ken mengusap rambut Aira yang di ikat satu. "Pasti tumbuh lagi, kalo kita udah tua kan pasti botak,"

Aira terkekeh, Ken berharap bisa terus melihat dan mendengar tawa Aira.
.
.
.

"Jadi gimana perkembangan anak saya dok?" Mama masuk ke ruangan dokter bersama Alea. Mempercayakan Aira kepada Ken yang setia menunggu di luar ruangan Aira.

"Benjolan di lengan sudah mengempes bu, kami baru saja memberikan radioterapi kepada Aira, efek sampingnya mungkin rambutnya yang mengalami kerontokan, atau batuk dan sakit dada,"

"Kemungkinan sembuh?" Tanya Alea.

Dokter Raha tersenyum, "Hampir 70℅, Aira hanya perlu konsisten datang kemo dan radioterapi, obat-obatnya juga harus diminum sesuai waktu yang dianjurkan. Jika dia batuk-batuk parah, berikan Air putih yang banyak,"

Mama dan Alea tersenyum lega, mereka tau Aira kuat.

"Jika Aira pingsan ataupun mengalami mimisan parah, ia harus segera dibawa ke sini, dan mungkin harus melakukan rawat inap. Apa tidak apa-apa?" Tanya dokter Raha.

"Tidak apa-apa. Lakukan apapun agar Aira sembuh dok," Kata mama, tangannya meremas tangan Alea yang terdiam, berusaha menahan tangis.

"Saya akan usahakan yang terbaik, anda jangan berenti untuk mendoakan Aira bu," Balas Dokter Raha.
.
.
.

Ken duduk di kursi tunggu sendirian, mama dan Kak Alea sudah berbicara dengan dokter tadi, dan berita yang mereka bawa sungguh memberikan Ken ruang untuk bernapas lega.

Sekarang mama dan Kak Alea sedang berbelanja untuk memasak makanan untuk kabar bahagia ini.

Papa Aira juga sangat senang mengetahui Aira memilih Ken. Ia bahkan  berbicara kepada Ken lewat telepon untuk menitipkan anaknya. Papa Aira juga menyuruhnya memanggil Papa seperti yang  Mama lakukan.

Ken menghubungi bunda dan Ayahnya yang berada di Kanada. Memberitakan Berita sembuhnya Aira hampir 70℅.

Bunda sudah mendengar seluruhnya dari mulut Ken sejak pertama kali Ken cerita bahwa dia menyukai seorang gadis.

"Aira pasti sembuh kan Ken? Bunda sama Ayah gak sabar ketemu dia," Ucap bunda.

"Ken selalu berdoa untuk Bunda sama Ayah, hati-hati disana Bun,"

"Ayah senang waktu ngeliat calon menantunya cantik sekali,"

"Hahaha, Ken beruntung kan Bun? Jadi kapan pulang?"

"Sebulan lagi mungkin, yang sabar ya nak,"

"Pasti Bun, Ken tunggu ya,"
Ken menutup sambungan teleponnya bertepatan ketika Aira keluar dari ruang putih itu digandeng seorang suster.

"Gak papa kan?" Tanya Ken sambil mengambil alih tangan  Aira setelah mengangguk kepada suster.

"Gak papa, Makasih ya udah nungguin. Pasti lama kan?" Aira membalas genggaman tangan Ken. Berjalan beriringan menuju parkiran.

"Aku bisa nunggu selamanya kalo yang aku tunggu itu kamu," Balas Ken sambil nyengir.

Aira tertawa lagi, "Habis telepon siapa By?"

"Bunda, bunda berdoa buat kamu. Sebulan lagi pulang. Ayah gak sabar ketemu calon menantunya,"
Aira memukul lengan Ken karena terus-terusan menggodanya.

Ken balas merangkul Aira, sambil terus tertawa.

"Bunda beneran pulang?" Tanya Aira lagi.

"Iya Ai, beneran aku tu,"

"Yaudah, moga selamat di jalan," Aira berdoa.

Ken menatap mata Aira yang selalu memancarkan kehangatan itu sebelum dia berkata,"Kamu tau sesuatu nggak?"

"Emang apa?"

"Aku sayang banget sama kamu,"

Aira terkekeh, "Iya aku tau,"

"Kamu gak mau bales perkataanku apa?"

"Bales gimana?"

"Aku sayang kamu juga gitu,"

"Maunya gimana?"

"Ya bales kayak gitu,"

"Iyaiya, aku sayang kamu," Balas Aira sambil mencubit pipi Ken.

Ken menunjukkan wajah masam, walaupun tangannya masih merangkul Aira.

.
.
.
Tbc

Reasons Why {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang