.
.
Aira duduk di ranjang. Mengingat kembali percakapan terpanjang dengan Ken tadi. Wajah Ken teduh ketika menjawab pertanyaan Aira, tanpa emosi. Sekarang Aira merasa sangat rindu pada Ken yang baru beberapa menit lalu pulang.Aira memutuskan untuk merahasiakan pembullyan yang telah dia alami dari mama dan papa, apalagi Alea. Mereka bisa mengamuk dan memutuskan untuk memindahkan Aira kembali ke Jakarta padahal Aira sudah betah dengan suasana bandung yang selalu menghadirkan suasana sejuk.
Selain suasana, tentu saja karena kehadiran seseorang yang akhir-akhir ini selalu dia rindukan.
Aira beralih duduk di meja rias sambil menatap pantulan bayangannya. Terlihat pucat dan lemah.
Selain rahasia pembullyannya, Aira juga merahasiakan bahwa minggu-minggu ini dia sering sekali mimisan. Menyakitkan memang.
Darah kembali mengucur dari hidungnya dengan pelan. Tangan Aira bergerak cepat mengambil tisu di meja samping ranjangnya. Berusaha menghentikan darah yang makin lama makin banyak.
'Apa yang sebenarnya terjadi?'
Aira berusaha menahan tangisnya, berat sekali dia harus menyembunyikan kondisinya.
Aira divonis menderita limfoma hodgkin, kanker yang muncul dalam sistem limfatik yang menghubungkan kelenjar limfe atau kelenjar getah bening di seluruh tubuh. Sistem limfatik termasuk bagian penting dalam sistem kekebalan tubuh manusia.
Sel-sel darah putih limfosit dalam sistem limfatik akan membantu pembentukan antibodi tubuh untuk memerangi infeksi. Tetapi jika sel-sel limfosit B dalam sistem limfatik diserang kanker, sistem kekebalan tubuh akan menurun sehingga rentan mengalami infeksi.
Aira menyadari tubuhnya cepat kelelahan akhir-akhir ini, hingga dia menyadari ada benjolan kecil di lengan atasnya. gadis itu dengan segala keberaniannya memutuskan untuk mengecek dan menjalani banyak pemeriksaan tambahan, dan ia sangat-sangat-sangat bersyukur ketika kanker ini masih berada di stadium 1. Masih banyak harapan untuk sembuh.
Aira membaringkan tubuhnya yang lelah dan menangis pelan.
.
.
Mama dan Alea menatap Aira yang tampak sangat pucat di hadapan mereka. Tadi pagi, mama menemukan tempat sampah kecil di kamar Aira penuh dengan tisu berbercak darah.
"Kamu bisa cerita ke mama sayang, mama disini buat kamu," Mama mendekat, memeluk putri bungsunya yang masih memasang wajah datar. Alea ikut mendekat memeluk tubuh mama dan adik kesayangannya.
Aira sibuk berpikir darimana dia harus menjelaskan semuanya, air mata kembali jatuh membasahi pipinya.
"Mama jangan sedih, Kak Alea juga jangan sedih, "Kata Aira membuka percakapan. Alea dan Mama melonggarkan pelukan mereka hingga sepenuhnya terlepas. memasang telinga baik-baik.
"Aira kena kanker Limfoma,"
Satu kalimat dari bibir anggota termuda di keluarga mereka berhasil membuat mama dan Alea menutup mulut mereka rapat-rapat. Berusaha tak menangis di depan Aira yang terlihat sangat kuat dan lemah secara bersamaan.
Aira meneruskan dan melanjutkan ceritanya dengan wajah dan intonasi yang tetap datar, ia sudah cukup menangis ketika ia pertama kali mengetahui penyakit ini.
"Aira, gak ngeprank mama kan?"mama memeluk Aira rapat.
Aira tertawa sebentar, "Nggak ma, Aira beneran. Baru stadium awal. Masih banyak harapan buat sembuh,"
Alea menitikkan air mata. Aira kuat sekali.
Mama dengan segera menelpon papa yang sedang berada di Jakarta.
Papa datang ketika malam sudah menjemput, Aira masih tak dapat masuk beberapa hari ini karena fisiknya yang lemah.
Aira duduk di karpet bawah kamarnya ketika papa mengetuk pintu dan masuk sambil membawa air putih dan semangkuk bubur.
"Papa, kapan dateng?" Tanya Aira ketika papanya ikut duduk bersilah di karpet.
Papa tak menjawab, gurat wajahnya benar-benar menunjukkan kesedihan.
Aira tau papa dan mama berbicara serius tadi malam, mama bahkan menangis sepanjang bercerita kepada papa."Kamu pasti sembuh kan Ai?" Suara papa bergetar, air mata jatuh ke pipinya yang bersih.
"Kemungkinan sembuh 80℅ pah, Aira pasti kuat," Aira beranjak memeluk papa.
Sosok Ayah yang menjadi figuran, sosok Ayah yang membuat Aira selalu tenang dan merasa aman. Kini, giliran Aira yang berusaha membuat papa tenang.Papa memeluk anak bungsunya tak kalah erat, kembali mengenang memori lama seakan-akan Aira masih bayi yang digendongnya untuk pertama kali.
.
.
.Aira sudah berusaha untuk menutupi penyakitnya dari Anggar, tapi sepandai-pandainya tupai melompat pasti jatuh juga.
Mama memberitahu Anggar, dan mama-papa Anggar.
Aira dengan sangat memohon kepada Anggar agar tidak menyebarluaskan berita penyakitnya ini kepada orang lain, kecuali Amara atau bahkan kepada Ken ketika Anggar datang ketika Aira tak masuk hampir seminggu.
"Hey, let go of me," Aira memberontak sambil tertawa dalam pelukan Anggar.
Ketika mereka berdua bertatapan, Aira dapat melihat setetes demi setetes air mata jatuh membasahi wajah sepupunya itu.
"How could you?" Bisik Anggar. Suaranya tercekat.
Aira tertawa renyah, wajahnya memang masih pucat karena tadi pagi dia baru memulai radioterapi agar sembuh dari kanker yang mulai menggerogoti tubuhnya.
Tapi, binar mata Aira masih terang. Bahkan lebih terang karena keinginannya untuk hidup sangat besar.
Aira harus menenangkan Alea dari mimpi buruknya tiap malam.
.
.
."Sorry Ai, but i've tell Ken and Dimas about this," Kata Anggar tegas.
Aira hanya mengangguk dan tersenyum tipis, "Gak papa,"
"I'm here for you Ai. Don't cry,"
.
.Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Reasons Why {SELESAI}
Teen Fiction"Kecapekan lo ya? Sini, lo gak bersih banget," Kata Aira. Tangan kanannya memegang wajah Ken, sedangkan tangan satunya membersihkan hidung dan pipi Ken yang masih agak penuh dengan bercak darah. "Ai," "Hm?" "Gue boleh minta sesuatu gak?" Tanya Ken s...