Buku 28

615 36 0
                                        

.
.
.
"Mama janji mau biarin Aira masuk tadi malem," Rajuk Aira. Mama dan papa berpandangan.

Aira sudah menggunakan seragamnya dengan rapi, ia pulang dari rumah sakit sore kemarin dan menjalani rawat inap.

Papa menyewa seorang suster untuk berjaga-jaga. Namanya Angeline.

"Aira hampir terlambat ini. Mama harus nepatin janji," Suara Aira bergetar.

Wajahnya yang pucat ditutupi dengan ekspresi wajah menenangkan, berusaha keras agar diperbolehkan sekolah.

"Tapi, kamu baru pulang dari rumah sakit," Ujar Papa heran.

"Mama janji, mama harus nepatin apa yang sudah mama janjiin," Kata Aira.

Mama menyerah, "Oke, fine. Mama bolehin. Tapi, kalo ada apa-apa atau ada yang sakit, mama mau kamu langsung bilang ke Ken atau Anggar atau Amara,"

Aira mengangguk, matanya berbinar-binar.

"Yaudah, Aira berangkat dulu. Salam buat kak Alea ya pa, ma," Pamit Aira sambil bersalaman.

Mama baru akan mengatakan jika dia akan selalu diantar-jemput oleh Ken mulai sekarang, tapi Aira sudah menghilang di balik pintu kamar.

Aira berlari-lari kecil meskipun dia sudah mulai merasa sesak. Ia mulai ketergantungan dengan alat bantu nafas karena sakit di dadanya.

"Jangan lari-lari, ini masih pagi," Ken memegang lengan Aira.

"Kok kamu ada disini?" Tanya Aira sambil memperhatikan seragam Ken yang sudah terpasang rapi.

"Ya mau jemput kamu lah, udah ayo berangkat, aku disini udah dari tadi,"

"Dari kapan?" Aira mengerutkan kening.

"Dari kamu maksa-maksa mau ke sekolah sedangkan mama gak ngebolehin," Ken mencubit pelan hidung bangir Aira.

"Berangkat?" Aira memegang tangan Ken.

"Berangkat," Ken membalas pegangan Aira dengan erat.
.
.
.

Aira melangkah cepat diantara kerumunan, menerobos pelan siswa-siswi yang sudah buru-buru pergi ke kantin atau sekedar pergi ke perpustakaan.

Tangan Aira ditarik pelan, menepi ke pinggir lorong. Aira mendongak, menatap Devon,"Apa?"

"Tunggu sampe sepi, lo bisa kena injek kalo situasinya kayak gini," Balas Devon.

"Makasih btw," Aira tersenyum kecil. Lalu mengikat satu rambutnya ke atas, membiarkan anak rambut membingkai wajahnya yang terlihat kembali pucat.

"Gimana kabar lo?" Tanya Devon.

"Kabar apa? Kabar fisik apa kabar hati?" Balas Aira.

Devon tertawa, "Kabar fisik,"

"Gue gak bisa bilang gue baik-baik aja, tapi gue ngerasa gak sakit parah," Jawab Aira pelan sambil menunduk.

"Kalo kabar hati?"

"Hati gue udah mulai dibangun lagi," Balas Aira, berniat guyon.

"Gue harap lo bener-bener sembuh Ra, banyak kegiatan yang perlu lo ikutin," Devon meletakkan tangannya di pundak Aira.

Aira mendongak, lalu tersenyum lebar,"Makasih sekali lagi,"

Ken menatap mereka berdua dari kejauhan, sedikit merasa cemburu. Tapi, Ia sadar Devon hanya menganggap Aira adik setelah ia kehilangan Adiknya beberapa tahun lalu.

"Udah ngobrolnya?" Tanya Ken, ia berjalan mendekat.

Devon meringis, "Iya, udah. Tolong jagain ni anak satu. Gue takutnya dia kena injek anak-anak tadi,"

"Lo kira gue anak ayam apa," Aira mencubit perut Devon pelan, berusaha menyakiti cowok itu.

"Udah, ayo makan. Mama nyuruh kamu makan, Devon mau makan bareng?" Tanya Ken.

Devon menggeleng, "Mau aja, tapi gue ada rapat sama anak-anak kelas," Kata Devon. "Kapan-kapan gue ikut gak papa kan?"

"Boleh-boleh aja," Jawab Ken, matanya membentuk eye smile.

Mereka bertiga berpisah, Ken dan Aira menuju Kantin. Devon kembali ke kelasnya.

Aira memegang rompi Ken dengan tangan kanannya.

"Kenapa By?" Tanya Ken. Aira terlihat imut dimatanya.

"Kangen gak papa?" Aira mencicit.

Ken tertawa lebar, terbahak-bahak bahkan,"Gak papa By, aneh kamu padahal kita baru tadi pagi ketemu,"

Aira mengangguk,"Gak tau, aku kangen aja liat kamu,"

Ken merangkul Aira, tangan gadis itu ia sematkan di pinggangnya.

"Ken, jangan," Tolak Aira, ia berusaha melepaskan diri.

"Apanya jangan? Aku gak boleh ngerangkul pacar aku sendiri?" Ken balik bertanya, ia mengeratkan rangkulannya.

"Iya, gak boleh, ini masih area sekolah. Kalo ada guru yang liat gimana?"

Ken tersenyum kecil, "Mereka liat karena punya mata, By,"

"Tapi, tetep aja. Ini bisa dianggep gak sopan Ken," Kata Aira, masih bersikeras.

Ken mendesah, lalu melepas tangannya. Ia berjalan agak cepat, membiarkan Aira di belakang.

Aira mengerutkan kening, gak biasanya Ken berbuat begitu.

"Ken, tunggu," Teriak Aira pelan.

Ken menoleh, tatapannya tajam. "Cepetan, kamu harus makan,"

Aira mempercepat langkah. Ketika ia sudah berdiri di samping Ken, tangan Aira menggenggam tangan Ken pelan.

"Kamu marah ya?" Tanya Aira.

Ken berusaha menetralkan wajahnya, tapi ia tak kuasa menahan tawa,"No by, i'm just kidding,"

Mata indah Aira berkaca-kaca,"Aku kira kamu marah. Aku minta maaf,"

Ken kelabakan, ia dengan cepat mengusap wajah Aira dengan pelan, "Aku yang harusnya minta maaf, mungkin bercanda ku keterlaluan,"

Aira tertawa keras, ia juga sedang berpura-pura. Tapi, tak dipungkiri Aira takut ketika Ken merasa bosan atau berniat meninggalkannya.

"Apapun yang terjadi, aku ada di samping kamu, Ai," Ujar Ken, ia menunjukkan tangannya yang balas menggenggam tangan mungil Aira.

"Jadi aku gak perlu khawatir kan?"

"Exactly, kamu gak boleh berpura-pura ataupun bohong sesuatu sama aku. Janji?"

Aira terlihat berpikir sebentar, berbohong memang penyakit akut dalam suatu hubungan. "Janji, udah yuk ke kantin, Aku udah laper," Ajak Aira.

Mereka berjalan perlahan, tapi tiba-tiba Aira berhenti. Ken menengok wajah Aira yang menunduk dan kaget ketika darah mengucur dari hidung Aira.

Aira tersenyum kecil dan menggeleng.
Ken masih berusaha menghentikan mimisan Aira sebelum Aira kembali pingsan di pelukannya.

.
.

.
Tbc

Reasons Why {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang