Buku 29

605 31 0
                                        

.
.
.
Aira pernah berharap Ia akan sakit parah ketika hidupnya tak sejalan dengan keinginannya. Namun, ketika Ia sudah sakit parah dan tak berdaya, keinginannya untuk sembuh bahkan lebih besar.

Aira berdiri di bawah pohon berdaun putih seperti salju. Daun itu lembut seperti kapas dan memiliki sebutir biji di dalamnya.

Aira merasa pernah datang ke tempat ini, dia berusaha mengingat tapi pikirannya kosong. Ia lupa namanya sendiri, lupa siapa keluarganya, lupa Alea, lupa Anggar. Ia juga lupa, siapa itu Ken?

Angin sepoi-sepoi menggoyang-goyangkan beberapa dahan pohon itu.

Aira tiba-tiba kembali mengingat masa lalunya. Kilasan-kilasan itu memenuhi kepalanya. Satu persatu hingga ruang dalam kepala Aira terasa penuh. Aira merasa kepalanya berat dan dia terjatuh dengan amat keras di atas tanah, tapi yang bisa dia rasakan hanya angin yang berbisik lirih.

.
.
.

Aira terbangun dengan pelan, gadis itu masih merasa kepalanya berat. Tangan kanannya terasa nyeri, ia hampir tak bisa menggerakkan seluruh badannya.

Mata Aira berusaha menyesuaikan pencahayaan yang masuk menyeruak. Gadis itu menarik napas perlahan, berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dari alat bantu nafas.

Ia menggerakkan tangannya sedikit-demi sedikit. Kemana semua orang? Apa yang terjadi? Ia sudah tertidur berapa lama?

Aira menggerakkan badannya lagi, tapi yang ia rasakan hanya punggungnya yang terasa sakit luar biasa. Nyeri dan gatal bercampur menjadi satu membuat Aira diam-diam meneteskan air mata.

Dengan cepat, gadis itu beradaptasi dengan rasa sakitnya. Mata Aira berusaha mencari siapapun yang bisa Aira tanyakan.

Ia menangkap sosok Ken di luar ruangan lewat kaca pembatas. Mungkin keadaannya sangat parah hingga ia harus dikurung dengan berbagai macam alat tanpa ada satupun meja ataupun sofa seperti biasanya.

Mata Aira bergerak-gerak. Ia sudah berhasil menggerakkan tangannya. Mungkin ia sudah tertidur sangat lama hingga saraf sensoriknya juga sulit untuk berfungsi.

Aira berusaha menggerak-gerakkan tangannya. Berusaha agar Ken melihatnya. Tapi, Ken terlalu fokus pada seseorang. Aira tak mengenalnya.

Menit berlalu, dan Aira sudah menyerah untuk membuat Ken melihatnya. Mata gadis itu mengerjap.
Butuh beberapa detik Ia menyadarkan dirinya bahwa Ken memeluk seorang gadis.

Aira menutup matanya rapat-rapat, berusaha tak tertarik pada hal yang terjadi di depan matanya.

Ketika dia membuka mata, sesuatu kembali menghujam jantungnya. Ken menggandeng gadis itu pergi.

Aira melupakan sakit di punggungnya, lalu berusaha untuk melupakan sakit di hatinya.
.
.
.
Ken berdiri di depan kaca pembatas ruangan Aira.

Hampir setengah bulan gadisnya tertidur di dalam sana.

"Bangun Ai, aku kangen," Bisik Ken pelan. Tangan Kiara menggenggam tangan Ken erat, berusaha memberi kekuatan.

"Kakak, makan dulu ya?" Kiara mencoba membujuk sang kakak.

Ken memfokuskan pandangan pada adik sepupunya yang baru datang tadi pagi bersama orang tua Ken.

Usia mereka terpaut 5 tahun.

"Aira bahkan belum makan dari sebulan yang lalu, Ki," Ujar Ken.

"Kak Aira cewek kuat kan? Habis operasi tulang sumsum, Kak Ken pernah bilang kalo Kak Aira cewek kuat. Kiara sayang sama Kak Aira. Tapi Kiara juga sayang sama kak Ken. Jadi kak Ken harus makan sekarang," Kiara berkata dengan suara imutnya, tangan Kiara melingkar di pinggang Ken.

Ken tersenyum kecil, lalu ia berjalan menjauh dengan menggenggam tangan Kiara.

'Aku makan bentar Ai, habis aku makan kamu harus bangun' bisik Ken dalam hati.

Ken hanya pergi tak lebih dari 15 menit, ketika dia menghampiri ruangan Aira lagi, gadis itu sudah bangun dan berbicara melalui perantara kaca bersama orang tuanya.

Mama tersenyum bahagia, Papa apalagi.

Ken tak bisa berkata-kata ketika Aira tersenyum tipis walau ia tersenyum dibalik alat bantu napasnya.

"Aira kapan bangun ma?" Tanya Ken.

Mama menoleh, "Barusan Ken, mungkin beberapa menit yang lalu," Ken mengangguk-angguk tanda mengerti, ia menoleh lagi kepada Aira.

Aira menatapnya sebentar, lalu memalingkan wajah.
Tatapannya sendu dan terlihat sedih.

"Kak Aira udah bangun, Tuhkan Kiara bilang apa? Kak Aira itu kuat," Kiara tersenyum di balik kaca.

Aira belum kenal Kiara, sehingga Aira hanya tersenyum tipis nyaris datar, tatapannya malah tajam.

Ken sadar, mungkin Aira tadi sudah bangun ketika Kiara menemaninya.
Ken juga sadar Aira mungkin saja cemburu karena ia memeluk Kiara.

Tiba-tiba Aira melepas alat bantu nafasnya, membuat semua orang heran sekaligus panik.

"Aira, apa yang kamu lakukan?" Mama berteriak pelan, Aira hanya menjawab dengan senyuman.

Ia berusaha berdiri dari tempatnya, Ken tanpa berpikir panjang langsung membuka pintu ruangan yang tak terkunci dan memegang lengan Aira.

"Kamu mau ngapain?! Kamu baru bangun dari tidur dan sekarang main-main?" Ken sedikit membentak Aira. Air mukanya bercampur antara khawatir dan marah.

"Lepas!" Pinta Aira.

Ken menghela nafas, "Kamu mau kemana By? Tubuh kamu ini masih lemah,"

Aira mendengus, "Apaan seh? Aku cuma mau ngambil air putih tuh disana," Aira menunjuk segelas air putih di atas nakas, agak jauh dari ranjang.

"Kamu bisa nunggu suster kan? Kamu tau Aku gak boleh masuk," Ken sedikit menghela napas lega.

Aira memutar bola mata,"Lepas, aku bisa sendiri,"

"Kamu tunggu sini, biar aku ambilin," Ken melepas lengan Aira. Tapi, Aira bersikeras untuk berjalan sendiri.

"Kamu tunggu sini atau aku cium kamu di depan mereka?" Aira menoleh, mendapati mama dan papanya, seorang suami istri yang mungkin saja ayah-ibu Ken, dan seorang gadis muda berambut pirang bergelombang. Mereka semua menampakkan wajah khawatir, kecuali mama. Ia tampak sangat marah.

"Iya, aku tunggu sini," Ujar Aira, gadis itu mengangguk patuh.

Ken menyodorkan segelas air putih, "Kalo cemburu tuh bilang, kamu cemburu diem-diem bae,"

Ucapan Ken membuat Aira bergeming. Apa rasa cemburunya sangat terlihat?


.
.
.
Tbc

Reasons Why {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang