Buku 25

699 40 0
                                        

.

.

Ken masih setia duduk di depan ruang kemoterapi Aira dengan buku bertumpuk di sampingnya. Dia tak lagi sendirian, Anggar datang dan menemaninya. Detik dan menit berlalu, Ken masih setia mengerjakan tugas-tugasnya, dan Anggar masih setia bermain di handphone.

"Ken, gak laper?" Tanya Anggar.

Ken menoleh sebentar, "Gue nunggu Ai keluar dulu,". Matanya kembali tertuju pada buku di depannya. "Emang Amara kemana?"

"Amara masih pulang ke rumahnya di sekitar Solo baru berangkat tadi. Kalo Tante Adin sama Om lagi jemput Alea di Bandara," jawab Anggar. Ken manggut-manggut walau dia sudah tau hal itu, mencari topik saja.

"Kenapa sih Lo suka ke Aira?" suara Anggar kembali menginterupsi.

Ken menghela nafas, "Kalo gue jawab karena dia cantik pasti gue brengsek banget kan Gar?"

"Bukan brengsek, maksud gue, apa yang bikin Lo suka sama dia sampe Lo bela-belain nungguin dia di rumah sakit selama hampir 2 minggu?"

"Gue suka dia tanpa alasan Gar, sejak pertama kali gue liat matanya, Gue tau kalo dia takdir gue," jawab Ken, "Apaan sih gue jadi melankolis begini," tangan Ken memukul Anggar yang masih setia menunggu jawaban selanjutnya.

"Terus?" Mata Anggar bergerak-gerak imut.

"Gak ada terus-terus, dia mungil gue suka, dia mandiri, dia cuek, dia manis, semua yang ada di dia gue suka."

Anggar manggut-manggut, memang itu yang dia rasakan terhadap Amara. "Iya, gue tau perasaan lo,"

"Kalo tau ngapain tanya, bego banget gue jawab pertanyaan lo," rutuk Ken pelan yang langsung dihadiahi jitakan di kepala oleh Anggar.

Mereka berdua kembali terdiam hingga suara pintu terbuka menarik perhatian mereka, Dokter Raha keluar sendirian.

"Mana Aira dok?" tanya Anggar. Ken ikut berdiri dengan wajah khawatir.

"Di dalam, dimana Orang tua Aira?" dokter Raha balik bertanya.

"Masih keluar, apa ada yang ingin dibicarakan dok? Masalah kesehatan Aira?" Ken bertanya.

Dokter Raha mengangguk, "Aira hanya perlu datang radioterapi mungkin tiga kali lagi. Kemoterapi hanya dua kali. saya meresepkan obat baru, harus diminum setiap hari, masing-masing dua kali sehari,"

"Kankernya?" cicit Anggar.

"Saya hanya bisa mengatakan hampir 80% sembuh. Jaga saja agar Aira tidak stress dan depresi. dukungan keluarga sangat dibutuhkan sekarang, dia mungkin agak sedikit sensitif," jawab Dokter Raha. 

Ken dan Anggar menghembuskan nafas lega, kabar yang dibawa Dokter Raha layaknya Oasis di tengah padang pasir. Aira keluar dengan menggunakan kursi roda di dorong oleh suster yang sama yang pernah bertemu Ken beberapa menit kemudian. Dengan lemah, Aira tersenyum kepada suster dan Dokter Raha. 

Anggar mengambil alih kursi roda, membiarkan Ken membawa buku-buku pelajarannya kembali ke kamar inap Aira.

"Lama ya? harusnya kalian gak usah nunggu," ucap Aira.

Anggar menjawab, "Iya, lama banget. Kapan-kapan gue bayar dokternya biar ngelakuin kemo lebih cepet. Lo juga gak usah ngerasain sakit terlalu lama,"

Aira tak menjawab, hanya tersenyum kecil. Ia menggapai baju Ken untuk dipegang di sampingnya.

"Kenapa?" tanya Ken. tangannya mengambil alih genggaman Aira.

"Nothing, aku mau pegang baju kamu, bukan tangan," jawab Aira, memegang baju Ken lagi.

"Kalo baju, gak bisa megang tangan kamu balik. Kalo tangan aku kan anget, bisa megang balik lagi,"

Aira memutar bola matanya, "Aku mau pegang baju kamu pokoknya, bukan tangan,"

"Tolong sadar, disini masih ada saya," Celetuk Anggar kesal.

Aira menoleh ke belakang lalu menjulurkan lidahnya bermaksud mengejek.

Bibir Aira langsung ditepuk pelan oleh Anggar, "Gak boleh gitu,"

Aira mengerucut, "Gue laper, ke kantin yuk?"

"Lo kan gak boleh makan yang aneh-aneh Ai," Larang Anggar, melirik Ken meminta tolong.

"Kemaren, Ken bawain aku makanan luar kok gak papa?" Aira menoleh kepada Ken, mengabaikan wajah memelas Ken melihat Anggara berubah sebal.

"Ken, ikut gue yuk?" Anggar dengan senyum devil menarik lengan Ken dengan pelan.

"Aira sih ngadu," Rajuk Ken. Ia mengikuti langkah Anggar sebelumnya Aira dititipkan pada seorang Suster.

Yang terjadi selanjutnya hanya Anggar, Ken, langit,  udara dan tuhan yang tahu
.
.
.
"Gimana kabar kamu Ai?" Alea bertanya setelah dia keluar dari kamar mandi rumah sakit.

Aira mengedikkan bahu, "Nanti aku bohong kalo bilang aku baik-baik aja, Kak,"

Alea duduk di samping ranjang, menatap Aira yang sedang membaca buku dengan kacamata kesayangannya. "You're strong enough babe,"

Aira mendongak, mendapati kakaknya yang cantik siap menumpahkan air mata lagi, dengan segera Aira menarik Alea ke dalam pelukannya, berusaha menenangkan.

"Nangis mulu kerjaannya, padahal aku udah mau sembuh," Gerutu Aira pelan.

Alea menyedot ingusnya, "Kakak kan khawatir," Balas memeluk Aira.

"Udah tau Aira kuat, pokoknya do'a aja yang banyak. Aira janji Aira sembuh," Janji Aira sambil menautkan jari kelingkingnya dengan kelingking Alea.

"Kakak janji, kalo Aira sembuh, kita jalan-jalan ke Raja Ampat,"

Mata Aira berbinar,"Sungguhan? Gak bohong kan?"

"Kakak bilang janji, artinya gak boleh ingkar kan?" Balas Alea sambil menyeka wajahnya.

Aira hampir melompat senang ketika Ken masuk dan membawa seplastik nasi goreng.

"Mau ngapain kamu?" Tanya Ken melihat posisi Aira yang tampak seperti berjongkok di atas ranjang. "Duduk yang bener,"

Aira menurut, "Iya," Jawabnya dengan suara mencicit. Membuat Alea tertawa kecil.

"Itu nasi goreng pesanan kakak kan Ken?" Alea berjalan mendekati Ken yang sedang menyiapkan nasi goreng di atas piring.

"Iya kak, ini yang mawut, ini yang ikan asin,"

Aira melirik nasi goreng yang menggugah selera itu, "Bagi-bagi dong, masak makan berdua doang?"

"Kasih dikit aja Ken, Aira kasian makan bubur terus dua minggu ini," Alea mendorong tubuh Ken untuk memberikan sedikit nasi goreng itu ke Aira.

"Tapi kak--"
Ucapan Ken terpotong melihat tatapan melas Aira. Sampai kapanpun dia akan tetap kalah oleh wajah melas Aira.

.
.
Tbc


Reasons Why {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang