【CORRIDOR】

388 38 2
                                    

Ten x Doyoung by bluishluminous

.

Matahari telah pulang ke peraduannya. Sekolah yang tadinya penuh akan siswa siswi haus ilmu pengetahuan kini tampak sunyi senyap. Hanya terdengar embusan angin dan gesekan tipis antara daun daun kering yang telah jatuh dari tangkainya, beserta suara derap kaki terdengar menggema di koridor dengan cahaya temaram.

Doyoung menjadi satu satunya siswa yang masih belum menginjakkan kakinya di luar gerbang sekolah di hari yang mulai malam ini, atau setidaknya itulah yang ada di dalam pikirannya sebelum ia dikagetkan oleh tarikan kasar pada kerah bajunya. Ia tersentak kaget ketika kerasnya dinding beton yang menjadi pembatas salah satu ruang kelas yang ia lewati dengan koridor menyapa punggung tegapnya.

Ia dapat melihat sosok yang akhir akhir ini ia hindari tengah menatap tajam padanya. Tangan mungilnya ia jadikan penyangga tubuh yang sedikit ia condongkan, ingin memberikan kesan mengintimidasi pada sang lawan yang dalam kasus ini adalah Doyoung, namun sedikit lucu ketika menyadari jika sosok itu perlu mendongak untuk memertemukan maniknya pada iris bening milik laki-laki yang lebih tinggi itu.

Tidak ada sepatah dua patah kata yang terlontar selama satu menit pertama. Sampai pada akhirnya Doyoung merasa jengah dengan perilaku laki-laki mungil yang ada di hadapannya ini. Ia tau ke mana topik pembicaraan yang akan laki laki itu bawa pada pertemuan mereka yang pertama setelah empat hari Doyoung berusaha menghindar.

"Apa maumu?"

Laki laki yang kini telah berdiri angkuh itu semakin menajamkan tatapannya pada sang lawan bicara, menyilangkan kedua tangannya seolah memberi kesan berkuasa yang tak bisa ditentang.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu, Kim. Apa maumu?"

Mereka berdua saling melempar tatapan tajam yang menghujam sangat dalam pada masing masing obsidian yang memancarkan kilat kejengahan dengan jelas. Mereka jelas tau apa masalahnya namun memilih untuk memertahankan ego masing-masing.

"Aku pikir kita hanya perlu untuk kembali menjadi seperti orang asing."

"Aku baru tau jika kau sangat kekanakan."

"Mana yang kau sebut kekanakan, Ten?"

"Tiba-tiba kau menghindariku tanpa alasan yang jelas, dan yeah kau berubah. Kupikir kita tidak pernah memiliki masalah apapun sebelum ini. Dan kau tiba-tiba bersikap seperti kita tengah berperang dingin. Sekarang kutanyakan langsung padamu, apa masalahmu dan hubungannya denganku? Jika aku punya salah bukankah sudah berulang kali aku katakan padamu untuk mengatakan apa salahku? Jangan kekanakan seperti ini, semuanya bisa diselesaikan baik baik."

Doyoung menghela napasnya berat. Ia akui perkataan Ten memang benar, ia sangat kekanakan kali ini. Pikirannya sedang kacau dan itu memang disebabkan oleh laki laki yang masih berdiri angkuh di depannya ini. Tidak tidak, bukan sepenuhnya karena dia. Tapi lebih mengarah pada gunjingan gunjingan yang sering ia dengar dari perempuan perempuan tukang gossip di sekolahnya.

Biar kuberitau jika mereka berdua kini masih menginjakkan kaki di salah satu sekolah paling elite di kota besar ini. Dengan status yang berbeda namun menapak pada pijakan kaki yang sama. Ten merupakan putra dari seorang pengusaha kaya raya yang menjadi salah satu penyumbang yayasan terbesar di sekolah. Dan Doyoung hanyalah sosok sebatangkara yang memiliki kemujuran luar biasa karena mampu mendapatkan beasiswa penuh untuk menuntut ilmu di sekolah mewah ini.

Mereka jelas memiliki kasta yang jauh berbeda. Namun entah bagaimana caranya pemuda yang lebih kecil itu sangat menempel padanya. Doyoung merasa hidupnya sempurna ketika Ten mendeklarasikan dirinya sebagai sahabat sehidup semati. Ten banyak membantunya banyak hal terutama dalam segi ekonomi. Doyoung senang menerimanya selama Ten tidak pernah merasa keberatan.

Tapi belakangan banyak yang mengoloknya jika ia hanya memanfaatkan Ten selaku salah satu siswa yang berpengaruh di sekolah, untuk mendapatkan sebagian hartanya yang melimpah. Ia berusaha abai namun kata kata yang menyudutkannya selalu terngiang dalam benaknya, membuat pikirannya kacau dan berakhir melakukan tindakan tanpa perhitungan.

'Benarkah aku sehina itu? Berteman hanya karena ingin memanfaatkan hartanya?'

Doyoung memang miskin, tapi ia tak pernah berkeinginan untuk memanfaatkan Ten yang mau berteman dengannya yang tidak selevel. Ten sendiri yang memulai. Namun akhir akhir ini Doyoung memikirkan jika mungkin benar kata orang, ia tidak pantas untuk berjalan di samping Ten. Ia kerap kali merasa kecil dan rendah ketika bersama Ten, satu hal yang tidak disadari sang sahabat.

Terlalu lama terlarut dalam lamunan, Doyoung memekik pelan ketika Ten menggoncang bahunya kencang.

"Apa yang kau pikirkan? Sekarang berikan jawabanmu mengapa kau tiba tiba menghindar? Kupikir kau sudah cukup memikirkan, kau tak melamun tanpa alasan."

Doyoung menatap Ten dalam sebelum kepalanya ia tolehkan agar matanya tak bersirobok dengan milik sang lawan bicara, tangannya ia tautkan, kebiasaannya ketika sedang bimbang.

"Jangan pikirkan apa kata orang lain. Aku tak merasa kau memanfaatkanku, kau bahkan selalu ada ketika aku membutuhkanmu. Kita impas kan? Aku memang hanya bisa memberikan sebagian harta yang kupunya untuk membalas budi baikmu padaku. Kau tau sebenarnya mendapatkan sosok yang tulus sepertimu itu sangat susah di sini. Belum tentu orang orang yang membicarakanmu lebih baik darimu. Kau hanya perlu mendengarkanku, Doyoung. Kau sahabatku, dan selamanya akan seperti itu. Kau akan selalu ada untukku dan aku akan selalu ada untukmu. Kapan pun kita saling membutuhkan."

"Kau...."

"Aku punya mata dan telinga Doyoung. Jangan kau pikir aku tidak tau."

Mata kelincinya berkaca kaca sebelum menhamburkan pelukannya pada pundak sempit sang sahabat. Ya, benar. Tak seharusnya ia berpikiran demikian, tak seharusnya ia merendah hanya karena apa kata orang. Karena sejak awal mereka telah memiliki komitmen sebagai sahabat. Betapa bodohnya ia. Dan sekarang ia merasa empat harinya sia sia. Tapi tak apa, setidaknya mereka telah meluruskan kesalahpahaman ini.

Ten tersenyum dan membalas pelukan sang sahabat tak kalah eratnya. Dua menit bertahan dalam rengkuhan, mereka akhirnya mundur, saling melempar senyum dan tertawa setelahnya, merasa sama sama bodoh karena tak segera menyelesaikan perselisihan ini.

"Ayo pulang. Bulan bahkan samar samar telah terlihat. Oh ya, Ayah dan Ibu sedang mengunjungi nenek di Thailand, mau menginap? Kau kita perlu bercerita banyak setelah ini."

Doyoung mengangguk. Tangannya ditarik pelan oleh Ten, mereka bergandengan tangan menyusuri koridor sepi yang mulai tersisipi cahaya sang dewi malam. Semuanya telah kembali seperti semula. Hanya ada Ten dan Doyoung sebagai sahabat sehidup semati, janji yang sama sama mereka ucapkan di dalam hati.

【THE NCT GALORE】➤ a nct fanfiction challengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang