36. Kekalahan Hakiki

681 43 10
                                    

Sinar matahari pagi mulai masuk ke dalam kamar Rere lewat celah jendela kaca. Rere meletakan sisirnya saat bell rumahnya berbunyi. Dan ketika ia sudah turun ke lantai satu ternyata Mungga sudah duduk manis di meja makan bersama Aldi berserta mamanya.

Mengenai kejadian beberapa hari yang lalu, tentu saja Irma sudah mengetahuinya lewat Aldi. Sebagai seorang ibu, Irma pun bahagia akhirnya Rere bisa berdamai dengan ayahnya.

Rere duduk di samping Aldi kemudian merebut jus buah naga yang sedang Aldi minum.

Aldi berdecak. "Bikin sediri dong."

Rere malah menyengir.

"Dih, malah nyengir."

Mungga tertawa ketika melihat kejadian itu.

"Apa ketawa-ketawa." ketus Rere.

"Karna tertawa adalah hak segala bangsa. Perdamaian abadi dan keadilan sosial."

Kini Aldi yang tertawa. "Lo kira Undang-undang dasar."

Irma yang baru saja datang dari dapur dengan membawa beberapa menu makan untuk sarapan menatap heran.

"Ada apa nih ketawa terus dari tadi."

"Karena tante cantik." goda Mungga.

"Nggak ada hubungannya bego." Aldi melemparkan sendok ke arah Mungga dan Mungga berhasil menghindarinya.

Mungga memang sering ikut sarapan bersama di rumah Rere. Apa lagi kalau Irma sedang cuti seperti sekarang ini. Meskipun ia menolak pun percuma karena baik Aldi mau Irma sering kali memaksa. Lagi pula Mungga sih sebenarnya suka-suka saja. Meski ia sudah sarapan di rumah pun ia tak akan tega menolak makanan gratis yang menurutnya di kirimkan tuhan untuk anak sholeh seperti dia.

Mereka sarapan bersama. Suasana yang Mungga ciptakan membuat pagi mereka penuh dengan tawa.

Mungga dan Rere berpamitan setelah selesai sarapan pagi.

"Pacar?"

"Pacar?" tanya Mungga sekali lagi di tengah perjalanan menuju sekolah.

"Hm."

"Kok diem melulu? Nggak lagi sakit kan?"

"Nggak kok." ucap Rere seraya terus menatap keluar jendela mobil.

Hari ini seperti biasa, jalanan ibu kota yang padat dengan aktifitas pagi. Sehingga beberapa kali mereka terkena macet. Mungga jadi menyesal hari ini membawa mobilnya.

"Nanti jadi nemenin kan?"

"Meski pun gue bilang enggak pasti lo paksa gue buat nemenin kan?"

Mungga terkekeh, tangan Mungga yang bebas mengacak-acak puncak kepala Rere.

"Iya sih, tapi lebih suka kalau lo ikhlas tanpa paksaan, mau nemenin dan ikut gue turnamen futsal."

Ya, sore ini adalah jadwal turnamen futsal antar SMA sederajat yang di adakan untuk memperingati hari bulan bahasa di pusat kota. Aneh? Memang. Seharusnya bulan bahasa di isi dengan lomba-lomba seperti lomba debat bahasa, atau berpuisi. Mungkin wali kotanya sedang ingin mencari inisiatif terbaru.

Rere memandang Mungga kemudian tersenyum.

"Iya gue pasti ikut kok, lagian gue juga suka futsal."

"Main ke berapa?"

"Ke tujuh apa ke delapan gitu, gue juga lupa. Pokoknya sorean gitu mainnya."

"Terus kenapa kemaren ngajakin bolos kalau gitu?" tanya Rere.

Mr. M3 | munggaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang