Angin malam kali ini terasa lebih dingin. Gadis dengan hanfu putih dan rambut yang dibiarkan tergerai tanpa hiasan apa pun itu duduk di batu besar. Ia menatap lurus pantulan cahaya bulan pada air di danau teratai di depannya.
"Nona, sebaiknya kita kembali. Malam sudah semakin larut. Udara dingin ini sangat tidak baik untuk kesehatanmu," ucap Lin.
"Tinggalkan aku sendiri," titah Mayleen.
"Maaf nona, aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak mungkin meninggalkan nona di tempat ini sendiri."
"Ikuti perintahku atau kamu mau aku hukum?" ancam Mayleen.
"Tapi-"
"Lin," potong Mayleen. Mendengar suara Mayleen yang tak bersahabat membuat Lin mau tak mau menuruti permintaan majikannya untuk ditinggalkan sendiri.
Setelah dayang kesayangannya pergi, Mayleen menghela napasnya dengan kasar. Hatinya sedang tak baik. Ia seperti mengangkat beban ratusan ton di pundaknya. Berat. Sangat berat.
"Apa yang harus aku lakukan? Menang dalam game PS sih lebih gampang daripada menangin game di sini." Mayleen menopang dagunya dengan kedua tangannya.
"Gila kepala gue pusing mikirin runtutan kejadian dari awal. Kenapa gue bisa ada di sini. Ditambah gue harus jadi pion pula. Coba aja ada Sarah. Pasti dia bisa bantuin gue. Emang dia partner in crime gue yang paling da best." Mayleen menatap pantulan bulan di air.
"Sebenarnya bisa aja gue lakuin semua rencana paman dan yang lainnya. Tapi ... gue gak tau kronologi kejadiannya. Dan yang paling penting, gue butuh kekuatan yang besar. Misalnya kaya Sailor Moon gitu." Mayleen mengambil kerikil dan melemparnya ke danau, sehingga menimbulkan riak.
"Semacam ... magic." Ia menjentikkan tangannya seraya terkekeh kecil menyadari kekonyolannya.
"Hahaha ... gue udah gila! Mulai gak waras. Gue gila karena bisa nyasar ke era ini. Tapi gue termasuk beruntung gak sih? Jelas gue beruntung. Seenggaknya gue tinggal di tempat yang layak. Dapet makan enak juga. Yang penting gak jadi gelandangan." Mayleen tersenyum miris.
"Rupanya kau sadar bahwa jiwamu sedang terguncang."
Mayleen terdiam mendengar suara itu. Apa dia salah dengar? Tidak mungkin. Tapi, bukankah di sini tidak ada orang? Lin bahkan sudah pergi dari tadi. Kalau ia memang tak salah dengar, suara siapakah tadi? Mayleen mulai menengokkan kepalanya ke kiri secara perlahan.
"Tidak usah mendramatisir seperti itu. Langsung menengok saja apa salahnya?" Mayleen tercengang saat melihat seorang pria dengan setelan jas warna hitam dan rambut hitam setengkuk berdiri tak jauh darinya.
"Tutup mulutmu nona. Jangan sampai kau tersedak nyamuk yang sedang kawin." Mayleen langsung mengatupkan bibirnya.
"Si-siapa lo? Eh you, eh salah maksudnya kamu?" tanya Mayleen dengan tergagap.
"Kau tak tau siapa diriku?" tanya balik pria itu dengan wajah dramatisnya. Mayleen menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Aiihh ... anak bodoh ini. Anak yang tidak tau terimakasih." Mayleen mengernyit tak suka mendengar ucapan pria itu.
"Siapa yang bodoh? Kamu ini siapa? Kenapa bisa ada di sini? Terus pakaiannya mirip kaya yang ada di zaman aku. Kamu kenal Kaisar? Liu? Atau kamu saudaranya Perdana Menteri?" Mayleen menyemburkan banyak pertanyaan dengan sekali tarikan napas. Pria itu mendengus sebal mendengarnya.
"Kalau bertanya itu satu-satu. Mulutmu itu sudah seperti kereta saja." Pria itu menggelengkan kepalanya pelan.
"Jawab aja!" titah Mayleen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Until A Thousand More Years
Historical FictionRania Pandita Clark. Ia adalah gadis yang duduk di bangku kelas 12 SMA elite ternama di Jakarta. Ia memiliki banyak hal menarik dihidupnya. Hidup bebas, sering keluar malam, ke pub, uang melimpah, rumah mewah, mobil mewah, semuanya serba mewah. Hany...