Pagi ini Rania memakan sarapannya dengan tidak napsu. Ia benar-benar rindu dengan menu sarapan pagi di masanya. Bukannya makanan di sini tidak enak tetapi bagaimanapun lidah Rania sudah terbiasa dengan cita rasa Nusantara.
"Lin, aku mau sarapan besok kamu siapkan kue dan daging asap aja ya." Rania meneguk air putih setelah menelan makanan yang terakhir.
"Baik nona ...."
"Boleh hamba bertanya sesuatu?" Rania menganggukkan kepalanya.
"Mengapa wajahmu berbeda? Ma-maksud hamba ... wajah nona terlihat asing. Banyak pelayan yang bertanya-tanya." Sebenarnya Lin takut jika pertanyaannya akan menyinggung Rania. Tapi yang ditanya justru hanya tersenyum.
"Kenapa? Menurutmu jelek ya?" Pertanyaan Rania membuat Lin langsung bersujud.
"Mohon ampuni hamba yang sudah lancang nona Mayleen. Nona memiliki wajah yang begitu cantik. Hamba telah lancang bertanya seperti itu. Mohon ampuni hamba." Rania terkejut melihat Lin yang tiba-tiba sujud seperti itu.
"Bangun, Lin. Aku gak marah sama sekali." Lin bangkit kembali dengan kepala yang menunduk.
"Ampuni hamba nona. Lain kali hamba tidak akan bertanya seperti itu lagi."
"Aku gak marah. Mungkin ini anugerah dari Tuhan kasih aku wajah yang beda."
'Tuhan? Mungkin saja yang dimaksud itu adalah dewa,' batin Lin.
Jika dipikir, memang wajah Rania berbeda dari wajah kebanyakan masyarakat di sana. Rania sendiri sebenarnya gadis blasteran Indonesia dan Inggris. Ibu asli Jawa sedangkan ayahnya blasteran London dan Surabaya. Rania mengikuti postur tubuh ibunya yang mungil dan pupil mata berwarna hitam. Sedangkan selebihnya mengikuti gen sang ayah. Nilai tambah dalam fisik Rania yaitu rambutnya yang panjang sepinggang dengan warna hitam kecoklatan dan ujungnya yang sedikit bergelombang. Banyak gadis-gadis di negeri Xia yang panjang rambutnya melebihi Rania, namun hanya gadis itu yang memiliki rambut tercantik.
"Sudah beberapa hari ini aku gak liat paman sama Liu. Mereka kemana? Mereka gak pulang?"
"Perdana Menteri sedang menyelesaikan perselisihan sengketa dengan kerajaan Gin. Sedangkan tuan Liu sedang melatih prajurit di perbatasan." Sejujurnya Rania merasa sangat bosan. Biasanya Liu selalu mengajaknya berkeliling istana. Liu juga selalu bisa membuat moodnya baik. Rania selalu dibuat tertawa.
'Tau gini mending ikut Liu. Sekalian minta diajari bela diri biar bisa kaya Jackie Chan.'
***
Lagi-lagi Rania hanya berkeliling istana saja. Ia kini sudah memahami situasi di era ini seperti apa. Ia juga sudah mulai terbiasa dengan lingkungan barunya.
'Jam berapa sekarang ya? Mungkin sekitar jam 10. Biasanya gue lagi tidur manja di rumah atau ke cafe yang ada di Kemang buat cuci mata,' batin Rania.
Rania menghentikan langkahnya tatkala melihat sosok yang akhir-akhir ini dia idolakan.
"Hormat saya Yang Mulia." Rania membungkukkan badannya.
"Rupanya kau sudah belajar banyak." Rania hanya tersenyum tipis.
"Mau berjalan denganku?" Rania tersenyum tipis.
"Yang Mulia pasti sibuk, terimakasih atas tawarannya." Gadis itu sedikit menundukkan kepalanya.
"Aku sedang tidak mengerjakan apapun. Kau bisa mati kebosanan di sini. Panglima Liu sedang pergi bertugas."
"Mmm ... iya deh kalau Yang Mulia memaksa, aku bisa apa." Gadis di hadapannya ini memang benar-benar menyenangkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Until A Thousand More Years
Ficción históricaRania Pandita Clark. Ia adalah gadis yang duduk di bangku kelas 12 SMA elite ternama di Jakarta. Ia memiliki banyak hal menarik dihidupnya. Hidup bebas, sering keluar malam, ke pub, uang melimpah, rumah mewah, mobil mewah, semuanya serba mewah. Hany...