Gelisah. Rania tidak bisa tidur dengan tenang. Udara terasa begitu panas. Seingatnya pada saat sebelum tidur, AC di kamar sudah ia atur dengan suhu yang rendah sehingga udara di kamarnya begitu dingin. Lalu mengapa kini udara terasa begitu panas?
Tubuh Rania menggeliat ke kanan dan ke kiri. Sulit bagi Rania untuk membuka mata. Kelopak matanya begitu berat seperti tertimpa beban ribuan ton. Kini dadanya pun terasa sesak. Napas Rania mulai tersenggal-senggal. Udara terasa semakin panas dan oksigen mulai menipis. Kesadaran Rania sudah hampir hilang. Yang Rania pikirkan saat ini adalah ia sedang ketindihan. Ia termasuk orang yang tidak percaya hal-hal berbau mistis. Tapi yang dia rasakan ini mirip seperti itu. Tapi kenapa juga terasa seperti mendekati ajal?
'Apakah nyawa gue benar-benar mau dicabut? Jadi hari ini adalah hari terakhir gue di dunia?' Air mata mulai menetes dari kelopak mata Rania yang tertutup.
'It's ok. Setidaknya gue gak perlu lagi nangis tiap malam cuma untuk berharap keluarga gue bisa utuh lagi.' Tak lama kesadaran Rania benar-benar hilang.
***
'Dingin. Kenapa sekarang suhunya sangat dingin? Pernapasan gue juga kenapa masih susah kaya gini?'
Rania merasakan tubuhnya seperti jatuh ke bawah dengan perlahan. Napasnya masih sulit untuk menghirup oksigen. Udara terasa dingin sekali dan seperti berair.
'Tunggu! Berair?'
Rania mulai membuka kelopak matanya yang sudah mulai bisa dibuka dengan perlahan. Seketika itu pula mata Rania terbelalak.
'Air! Kenapa banyak sekali air?' Tubuh Rania mulai bergerak liar. Tangannya berusaha menggapai permukaan. Hidungnya mulai terasa perih karena air yang masuk. Otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih. Kakinya terus menendang dengan tangan yang berusaha mencapai permukaan air. Nihil. Tubuhnya justru semakin turun ke bawah. Ia bisa berenang, namun karena panik akhirnya ia tidak bisa fokus menggerakkan tubuhnya mencapai permukaan.
Sedikit demi sedikit air mulai masuk ke dalam hidungnya karena berusaha menghirup oksigen. Disaat-saat Rania hampir putus asa, tiba-tiba tangannya tertarik. Mata Rania yang hampir terpejam samar-samar melihat seorang pria menarik tangannya dan membawa dirinya ke permukaan.
Pria tersebut membaringkan Rania di pinggir aliran sungai. Pria itu menepuk-nepuk pelan pipi Rania. Karena tidak mendapatkan respon, ia menekan-nekan dada Rania.
"Uhuk ... uhukk." Rania terbatuk dan mengeluarkan semua air yang tadi sempat masuk ke dalam hidungnya.
"Apa kau baik-baik saja nona?" tanya pria tersebut.
"Ini dimana? Kenapa gelap banget?" Rania berusaha duduk. Pria yang menolongnya itu membantu Rania untuk duduk.
"Kau berada di pinggiran sungai Huai. Kau hampir tenggelam jika saja tadi aku tak melihatmu." Rania melirik pria yang sudah menolongnya.
'Ini orang aneh. Kok pake baju kaya gitu ya? Kenapa juga gue tiba-tiba ada di sungai? Dimana tadi? Hue? Hoey? Ah gak tau deh.' Rania terus memandangi lingkungan sekitarnya. Tidak ada pencahayaan apapun selain dari sinar bulan. Tubuhnya mulai menggigil karena udara malam menusuk kulitnya yang basah kuyup.
"Nona sebaiknya kau ikut aku sekarang. Udara semakin dingin. Pakaianmu basah dan harus segera diganti," ajak pria tersebut.
"Mmm ...." Rania melirik ragu pria tersebut.
"Tenang saja. Aku tidak akan macam-macam jika itu yang kau takutkan. Di dekat sini ada persinggahanku." Pria tersebut bangkit dan mengulurkan tangannya kepada Rania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Until A Thousand More Years
Fiksi SejarahRania Pandita Clark. Ia adalah gadis yang duduk di bangku kelas 12 SMA elite ternama di Jakarta. Ia memiliki banyak hal menarik dihidupnya. Hidup bebas, sering keluar malam, ke pub, uang melimpah, rumah mewah, mobil mewah, semuanya serba mewah. Hany...