Sinar matahari pagi menerangi setiap sudut ruangan di sebuah kamar besar yang kini ada sepasang manusia yang masih tertidur dengan selimut tebal sebagai penutup tubuh polos mereka. Di dalam kamar itu, nasih terdapat sisa amukan Angkasa. Pecahan kaca masih berserak di setiap sudut ruangan. Kedua pakaian mereka pun sudah tak berbentuk.
Kedua mata Anggi terasa sangat berat. Sakit di sekujur tubuhnya mulai bisa ia rasakan. Ketika dia akan terbangun, sebuah lengan besar menahan pergerakannya. Dengan perlahan, dia memindahkan lengan itu ke samping, dan dengan langkah tertatih, Anggi masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam kamar mandi, di tengah kucuran air, Anggi berusaha meredam tangisannya.
Sudah lebih dari tiga hari ini, wanita itu terkurung di tempat terkutuk itu. Sudah tiga hari pula, dia tak berdaya di bawah tekanan seorang Angkasa. Anggi tak diijinkan untuk keluar dari kamar dan menghirup udara segar. Ingin rasanya dia melarikan diri, namun tak ada yang bisa mengelabui seorang Angkasa. Sekitar villa sudah dijaga ketat beberapa anak buah Angkasa. Selain itu ancaman dari Angkasa yang akan memiskinkan keluarganya, membuat nyali seorang Anggi ciut.
Cukup lama ia terdiam di kamar mandi dan Anggi memutuskan untuk keluar. Baru beberapa langkah dia keluar, sebuah tangan besar dan kekar mendorongnya hingga dia jatuh kembali ke atas ranjang. Dan selanjutnya surai hitamnya telah berada di cengkeraman tangan Angkasa
"Siapa yang menyuruhmu mandi, Sayang"
"Mas...sakit"
"Dua jam lagi kita pulang. Mama dan Papa sudah kembali.Jika mereka tau dengan apa yang aku perbuat ke kamu, keluargamu akan tau akibatnya. Paham!!"
Angkasa melepaskan tangannya. Anggi bergegas turun dan segera berganti pakaian. Namun lagi-lagi, tangan Angkasa menahan tubuhnya dan kedua lengannya kini melingkari pinggang rampingnya
"Siapa yang menyuruhmu berganti pakaian?. Jangan coba-coba melawanku, Sayang. "
Anggi masih tak bergerak meski sekrang kedua tangan Angkasa sudah menulusup kedalam handuk kimononya. Tanpa rasa berdosa, Angkasa mulai memainkan kedua gundukan kembarnya. Tengkuk lehernya telah basah akibat invasi dari indera pengecap milik Angkasa.
"Mas....jangan. Aku...aku capek. "
Angkasa masih tidak peduli dengan protes Anggi. Lelaki itu masih asik mencecap setiap inchi kulit leher Anggi. Sudah tak terhitung berapa banyak tanda merah yang ada di sekujur tubuhnya. Kulit tubuh Anggi menjadi candu sendiri baginya. Ketika ia menyatukan tubuhnya, Angkasa seperti tak mau berhenti.
Angkasa membalikkan tubuh Anggi dan tangannya kini menekan rahang wanita itu. Angkasa menatap lekat kedua mata Anggi yang kini telah basah oleh air mata. Hatinya terusik, namun gengsi dan kemarahan mengalahkan hati nuraninya. Wanita yang ada di depannya ini, harus menjadi miliknya. Baik hati maupun pikirannya.
"Aku tidak suka bantahan, Sayang"
"Apa kamu lupa dengan tujuanmu? Balas budi kan? Dan ini caramu untuk membalasa budi"
Angkasa kembali melempar tubuh mungil Anggi dan kembali wanita itu berada di bawahnya. Angkasa terdiam sejenak. Ada keraguan dan penyesalan yang menelusup di relung hatinya. Dia bukan tipe pemaksa apalagi pemerkosa. Namun apa yang terjadi sekarang. Dia berubah menjadi sosok lelaki yang tak bisa lagi menggunakan akal sehatnya jika berada di dekat Anggi.
Ingatan beberapa hari yang lalu berputar kembali di otaknya.
"Aku mencoba mencintainya hanya karena balas budi"
Sebaris kalimat yang terus terngiang di telinganya. Amarahnya kembali memuncak dan dalam beberapa detik berikutnya, tubuh polos Anggi sudah mampu membuatnya sangat lapar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANUGERAH UNTUK PRASASTI
General FictionAnggita Prasasti, anak sulung dari tiga bersaudara. Lahir dari keluarga yang menengah, tidak membuat Anggi, panggilan namanya, menjadi anak manja. Anak sulung yang harus selalu menjadi pelindung bagi keluarga terutama kedua adik laki lakinya. Bagas...