Angkasa Pov
Tak ada yang bisa menggambarkan apa yang kurasakan saat ini. Wanitaku, perempuan yang teramat aku cintai, kini ada dalam genggamanku. Anggitaku, istriku.
Sebuah kebodohan telah aku lakukan sehingga menyebabkan Anggita harus kehilangan kesadarannya. Para sahabatnya justru menghalangiku untuk menemui istriku. Bahkan ketika aku akan memasuki pintu masuk, aku sudah dihadang oleh para security.
Semuanya bertambah parah ketika kejadian perkelahianku dengan Bayu , terdengar oleh kedua orang tuaku. Papa dan Mama memindahkan Anggita ke Singapura. Papa juga menutup akses untukku sehingga aku tak bisa menemui istriku.
Aku marah. Dia istriku. Demi apapun, tidak ada yang lebih berhak untuknya selain aku suaminya. Ini sudah keterlaluan dan aku tidak mau tinggal diam.
Akhirnya terlintas sebuah rencana untuk menculik istriku. Sungguh ironi bukan?. Dia istriku tetapi aku terpaksa menculiknya. Kami butuh waktu berdua. Kami butuh berbicara tanpa ada campur tangan orang lain.
Aku tak membuang waktu lebih banyak lagi, segera aku hubungi beberapa orang kepercayaanku. Seakan semesta mendukung, salah satu pemilik rumah sakit tempat istriku dirawat adalah kawan baikku. Setelah aku bercerita apa yang terjadi, di luar dugaan, kawan baikku itu membantu rencanaku. Dengan sedikit kesepakatan masalah bisnis, semua rencanaku tersusun dengan sangat rapi.
Apapun akan kulakukan asalkan Anggita berada di sampingku. Keberadaan dia di sisiku tak bisa dinilai dengan harta yang kupunya. Ketika kawan baikku meminta sebuah harga untuk bantuannya, aku langsung menyanggupinya.
Semua berjalan dengan lancar. Anggita sengaja ditidurkan selama penerbangan menuju Melbourne. Aku tak pernah lepas dari sisinya. Meski dia tertidur, tapi aku bisa menggenggam erat tangannya.
Kondisi Anggita sendiri sudah perlahan pulih sehingga dokter mengijinkan penerbangan jauh. Namun karena aku masih takut jika terjadi sesuatu, selama perjalanan Singapura Melbourne, ada tenaga kesehatan yang sengaja aku persiapkan untuk memantau kondisi Anggita.
Anggita begitu cantik malam itu. Aku tidak ingin dia kedinginan karena itu sejak sebelum keluar dari rumah sakit, tubuh Anggita telah ditutupi oleh selimut tebal. Di dalam pesawat pun, aku tak berani melepaskan selimut itu. Aku ingin dia terjaga kehangatannya.
Setelah penerbangan selama delapan jam, kami tiba di Melbourne sekitar pukul 8 pagi. Setelah memastikan kondisi Anggita stabil, aku segera membawanya ke apartement yang sengaja aku beli untuk tempat tinggal kami. Aku memilih sebuah unit apartement di pusat kota Melbourne dengan pilihan lantai teratas. Anggita menyukai pemandangan kota jika dilihat dari ketinggian.
Aku baringkan dia di ranjang besar dengan sprei warna pastel kesukaannya. Tak lupa aroma lavender mawar, aku pilih untuk pengharum di apartement kami. Aku juga menyewa beberapa maid untuk membantu mengurus apartement kami.
Anggitaku tak pernah menyerahkan urusan rumah ke para pembantu. Dia lebih suka mengerjakan sendiri. Ketika dulu masih bersamaku, aku hanya memberikan ijin untuk memasak saja. Untuk kali ini, dia hanya kuijinkan untuk tetap di kamar tidur kami.
Setelah membersihkan diri, aku memilih untuk merebahkan diri di samping Anggita. Tak beberapa lama, kedua mata Anggita mulai terbuka. Aku tau dia pasti akan terkejut namun aku membiarkannya. Kedua bola matanya yang indah memandangi hampir tiap sudut ruangan tanpa menyadari ada aku di sisinya.
"Selamat siang, istriku"
Sesuai dugaanku, Anggita loncat dari ranjang dan berlari ke sudut ruangan. Dia ketakutan dengan tubuhnya yang menggigil.
"Please, jangan takut, Sayang. Kamu aman. Aku siapkan makananmu ya. Tunggu di sini.
Tak butuh waktu lama, aku kembali membawa nampan berisikan penuh makanan dan minuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANUGERAH UNTUK PRASASTI
General FictionAnggita Prasasti, anak sulung dari tiga bersaudara. Lahir dari keluarga yang menengah, tidak membuat Anggi, panggilan namanya, menjadi anak manja. Anak sulung yang harus selalu menjadi pelindung bagi keluarga terutama kedua adik laki lakinya. Bagas...