Angkasa POV
Bodoh Bodoh Bodoh
Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Kedua tanganku menggenggam kuat setir kemudi dan kedua kaki memainkan pedal gas. Tanpa kusadari aku melajukan mobil di atas batas normal.
Kembali aku merutuki diriku sendiri. Kalau terjadi sesuatu denganku, apakah dia rela Anggita bersama yang lain ketika mereka telah ada di alam yang berbeda.
Aku selalu tau setiap gerak gerik istriku. Tanpa dia ketahui, di apartementnya pun aku pasang kamera tersembunyi. Di mobilnya, dimanapun dia berada, aku bisa melihat pergerakannya.
Entah mengapa hari itu aku sangat merindukannya. Aku sengaja mengosongkan jadwal untuk mengunjungi kota dimana istriku tinggal. Tidak terlalu jauh, cukup ditempuh dengan perjalanan maksimal dua jam saja.
Hari itu adalah jadwal nya bertemu dengan para sahabatnya. Dari jarak yang tidak terlampau jauh, aku bisa melihat istriku tertawa lepas dengan para sahabatnya. Tak ada kecanggungan meski para sahabatnya membawa pasangan. Ingin rasanya aku melangkah kesana dan memperkenalkan diri sebagai suaminya.
Suami. Iya suaminya. Meski selama lebih dari setahun pernikahan kami, aku tidak pernah membuat dia bahagia.
Aku terus mengamatinya. Anggitaku sangat cantik hari itu. Dia memakai jumpsuit lengan pendek warna biru tua dengan aksen garis vertikal. Rambutnya sengaja tak ia ikat dengan hiasan bandana hitam.Dia cantik sangat cantik. Karena itu, wajar kalau di kampusnya, dia jadi favorit mahasiswa dan para dosen. Banyak yang tidak mengetahui siapa istriku. Karena memang dia berpenampilan sederhana, jauh dari kata mewah.
Dia sangat mencintai kesederhanaan. Istriku akan pergi ke pasar tradisional setiap akhir pekan dengan menggunakan motor matic milik Hanin. Dia selalu mengenakan daster rumahan dan sandal jepit. Hal yang tak pernah dia lakukan ketika bersamaku.
Aku rindu Anggitaku. Aku rindu dia ketika aku bangun di saat pagi. Anggitaku akan bangun terlebih dahulu dan menyajikan kopi di samping tempat tidur kami. Ketika selesai berolahraga, Anggita akan menyambutku di meja makan dengan masakannya.
Anggita juga selalu mempersiapkan makan siang lengkap dengan cemilannya. Tak jarang dulu , dia mengunjungi kantor dan menyuapiku makan siang.
Jika malam tiba, saat rasa lelahku sudah tak tertahan, dia akan menungguku dan menghangatkan makan malam yang telah dia siapkan
Tapi saat ini,aku sendirian. Aku masih terlalu takut untuk berhadapan dengannya. Cukup dengan paket bunga yang kukirimkan setiap pagi meski harus bersanding dengan paket bunga yang dikirimkan oleh seseorang.
Caraka Bayu Dewangga adalah saingan terberatku. Harusnya aku tidak perlu menyebutnya saingan karena sampai detik ini, Anggita tetap istriku , masih sah menjadi istriku. Aku belum pernah berucap kata talaq. Meski aku akui, aku sering menyiksa fisik dan batinnya. Tapi sungguh itu kulakukan karena cemburu yang tak beralasan.
Orangtuaku sendiri lebih mendukung perceraian kami. Bahkan sampai dengan saat ini, mereka masih belum mau menemuiku. Aku sudah berkali -kali mengatakan bahwa aku mencintai Anggita dan ingin mempertahankan rumah tangga kami. Namun yang terjadi, Papa justru mengancamku jika menghalangi kebahagiaan Anggita. Bahkan orangtua kandungku menjadi pendukung hubungan istriku dengan pemuja rahasianya, Bayu.
Lamunanku buyar ketika ponselku berbunyi dan nama sekretarisku muncul di layar. Akhirnya aku memutuskan untuk menerima telpon di teras karena aku tidak ingin suaraku terdengar oleh Anggita.
Sekitar setengah jam aku menghubungi sekretarisku dan sesudahnya aku kembali ke tempat duduk ku semula. Namun apa yang kulihat di depan mataku adalah pemandangan menyakitkan bagi semua suami yang ada di muka bumi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANUGERAH UNTUK PRASASTI
General FictionAnggita Prasasti, anak sulung dari tiga bersaudara. Lahir dari keluarga yang menengah, tidak membuat Anggi, panggilan namanya, menjadi anak manja. Anak sulung yang harus selalu menjadi pelindung bagi keluarga terutama kedua adik laki lakinya. Bagas...