Zidny melangkah mantap menuju kelasnya. Sepanjang jalan ia menggerutu kesal, merutuki sebuah nama seseorang yang membuatnya cemberut pagi ini.
"Hah, Lia serius mau pindah sekolah?"
Zidny berdiri di dekat pintu kelas. Sebuah obrolan di dalam ruangan tersebut membuat kakinya refleks berhenti.
"Iya, Bimo."
"Tapi kenapa? Kok tiba-tiba?"
"Nggak apa, nggak ada alasan khusus. Lia cuma merasa udah ga nyaman aja."
"Tapi kan-"
"Udah, Bimo diem aja ya? Jangan kasih tau temen-temen yang lain, nanti mereka sedih."
"Nggak, yang lain harus tau Lia."
"Jangan! Awas aja kalo Bimo kasih tau."
"Kenapa?"
"Lia gak mau, nanti mereka malah kepikiran. Tolong banget ya Bimo jangan kasih tau mereka, please?"
"Ya udah... Oke.."
Zidny terus menguping pembicaraan kedua temannya itu. Tak percaya, sekaligus kaget.
"Woi!" Sebuah suara mengagetkan Zidny yang spontan terkejut.
Zidny menoleh, melihat Arga yang sudah berdiri di depannya kini ketus.
"Ih, lo lagi!" Bentak Zidny.
Arga terkekeh, "berhasil kan gue ngagetin lo hari ini," ujarnya merasa puas.
Zidny melangkah maju, lalu menginjak sepatu Arga dengan kuat.
"ANJIR!" Seru Arga sambil mengangkat kakinya kesakitan. "Kekuatan badak banget buset!"
Tak mempedulikan keluhan dari mulut cowok itu, Zidny lebih memilih masuk kelas.
"Assalamualaikum!" Ujar Zidny pelan namun masih dengan aura ketusnya.
"Biasa aja kali salamnya, kok ente ngegas?" Kata Bimo yang sedang berdiri di dekat meja guru bersama Lia.
"Saurry." Jawab Zidny santai.
"Ah gila, nyeri jempol gue." Keluh seseorang yang baru masuk kelas.
Bimo dan Lia menoleh, "kenapa lo?" tanya Bimo penasaran.
"Diinjek monster badak," jawab Arga menyindir halus.
Zidny yang sudah duduk di bangkunya kini menatap Arga sebal, walau cowok itu tak melihatnya balik.
Lia yang sadar melihat tatapan Zidny kini paham maksud perkataan Arga tadi. Ia pun tersenyum.
"Cocok ya."
***
Sebuah laptop kini berada di atas meja cafe bersama dengan beberapa buku pelajaran yang bertumpuk rapi disebelahnya.
Alunan musik Tulus, Monokrom, terdengar jelas membuat keadaan cafe semakin tenang dan nyaman untuk berlama disana.
Kring... Kring...
Suara lain terdengar di telinga cewek berkulit putih yang kini mengangkat handphonenya.
Ia menghembuskan napas berat. Jantungnya kembali berdegup kencang, seperti biasa.
Jari jempolnya bergerak pada layar, menjawab panggilan telepon.
"Halo Ma?"
"PULANG KAMU ANAK NAKAL! URUS PAPA MU DIRUMAH, KAMU KIRA SAYA PEMBANTU KALIAN, HAH?"
"Iya Ma, Lia segera pulang."
"CEPETAN, JANGAN IYA-IYA AJA, KALO DISURUH APA-APA TUH CEPET DILAKUIN, JANGAN KELAMAAN. DASAR ANAK GAK TAU DI UNTUNG!"
"Iya Ma.." Jawab Lia dengan lembut. Segera ia menumpuk buku-buku bersamaan dengan laptopnya lalu mengangkat benda-benda itu dengan tergesa.
Tas mungilnya bergerak kesana-kemari mengikuti pergerakan tubuhnya.
"Ya sudah, inget, cepet ya, saya mau jemput Misel."
"Iya-"
Tut.
Panggilan telepon berakhir sepihak.
Lia menatap layar handphonenya sedih, tubuhnya berdiri dari bangku cafe, kakinya bergerak menuju pintu keluar.
Alih-alih berjalan keluar dari tempat favoritnya itu, air mata gadis tersebut juga ikut keluar.
Keadaan hatinya kini sedang sangat buruk. Bahunya bergetar kecil karena mulai menangis.
Tangannya kembali terangkat, memperlihatkan layar handphonenya yang menyala.
Wajah seseorang yang sedang tersenyum manis melihat arah kamera kini terpampang jelas di lock-screennya.
"Bunda, Lia kangen sama Bunda.."
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
CLASSMATES
Teen Fiction"Not about popularity, but about togetherness!" - X IPS 1 Highest rank: #1 in squad #1 in ips #1 in ipa #9 in teenager # Jangan lupa juga ya untuk membaca series lain dari Classmates: "10 IPA 1", thankyou!