33. Lia (2)

2.9K 304 24
                                    

Seorang gadis kecil kini berlarian sambil mengangkat pesawat kertas miliknya di teras rumah. Terlihat dari ekspresinya kini ia sedang senang hati.

"Sayang, nanti jatuh loh kalo lari-lari terus," ucap wanita yang sedari tadi menemani sang gadis bermain.

"Pecawat telbangnya memang cepet, bunda.. Jadi Lili juga halus lali cepet-cepet.." jawab putrinya yang masih sibuk berlari kesana-kemari dengan sebuah pesawat kertas.

Bruk

"Aw...."

Wanita itu menghembus napas pelan, lalu tersenyum. Ia bangkit dari kursi kemudian menghampiri putri kecilnya yang barusan terjatuh di lantai.

"Udah bunda bilang ish, ngeyel," keluhnya sambil perlahan mengangkat tubuh Lia untuk digendong.

"Bunda... Lutut Lili pelih..." ujar Lia dengan mata berkaca-kaca sambil menunjuk kearah lututnya yang lecet.

Retna mengusap-usap rambut Lia pelan lalu meniup lutut putrinya itu. "Yuk kita ke dalem, bunda obatin dulu dikit biar ga tambah sakit lukanya Lili, ya?"

Lia mengangguk menurut, lalu digendong ke dalam rumah, meninggalkan pesawat kertasnya di depan teras. Dia sudah tidak peduli dengan mainan itu.

"Neng, udah sesuai aplikasi nih," ujar seseorang menyadarkan Lia dari lamunannya.

"E-eh," Lia celingak-celinguk memandangi sekelilingnya. "Bener mang, yang kanan pagar hitam itu rumah saya, maju lagi dikit."

***

Lia melangkah pelan ke dalam rumah. Jantungnya sudah berdegup kencang karena takut.

"Eh, udah pulang lo? Lelet amat sih," sindir seseorang yang berdiri di samping meja makan sambil menggigit buah apel.

"Ah, iya Kak.. Kakak barusan pulang?" tanya Lia dengan sopan, namun tak berani melihat kearah Misel.

"Masih nanya lagi, ya iyalah! Gue kelamaan tau gak nungguin mama jemput gara-gara lo belum pulang juga. Udah bandel ya lo," jawab Misel tetap ketus.

Lia semakin menunduk, "maaf, Kak."

Misel hanya mendengus sebal, lalu memilih untuk pergi dari situ. Belum melangkah, ia menoleh kearah Lia lagi.

"Oh iya, udah berapa kali sih gue ingetin lo buat jangan panggil gue dengan embel-embel 'Kak' lagi? Gue geli dengernya, tolong."

"Tapi kan-"

"Udah, nurut aja kenapa sih. Terutama di sekolah, awas aja kalo lo kelepasan manggil gue gitu, ntar gue tampar lo. Ngerti?"

Lia mengangguk pasrah, "iya.." lalu berjalan gontai menuju kamarnya, lantai dua.

Baru selangkah Lia menaikki anak tangga, suara motor dari depan rumahnya terdengar jelas. Sepertinya bukan hanya satu motor, tapi lebih dari tiga. Membuat Lia penasaran kemudian mengurungkan niatnya untuk segera ke kamar.

Ia mendekat kearah pintu, ingin melihat suara motor siapa saja itu.

"LIAAA,"

"NENG LIAAAA,"

"LIAAAAAT AKU, SAYANG, YANG SUDAH BERJUANG,"

"ZEYENG AKU DATANG ZEYENGGG,"

Suara di depan rumah tambah berisik ditambah dengan banyak orang yang memanggil namanya. Lia segera membuka pintu rumahnya, penasaran.

"Astaghfirullah..." Ucap Lia spontan ketika melihat beberapa teman kelasnya sudah saling berboncengan motor di halaman rumahnya. Ia memijit pelan dahinya.

"Eh, neng Lia udah keluar. Abang kesini bawa monyet peliharaan buat kamu neng." Celetuk Bimo yang helmnya langsung di jitak Layla yang duduk dibelakangnya.

"Kurang ajar!" Balas Layla tak suka. Bimo meringis pelan lalu membuka helmnya, melihat Layla juga sengit.

Lia menghela napasnya, "Kalian ngapain kerumah aku? Kayak cabe-cabean..." Ujarnya jujur.

"Eits, jangan salah. Cabe-cabean tuh kebanyakan ngebantu mengurangi populasi udara di Indonesia tercinta ini." Kata Roo menyahut.

"Loh, apa hubungannya?" Tanya Gaby yang tadi dibonceng Yanti, kini sudah berdiri disamping motor cowok berkulit sawo matang itu.

"Liat aja mereka, kalo pake motor ga maruk-maruk, satu motor bisa bonceng tiga sampe lima orang." Jawab Roo lalu mengangkat alisnya dua kali. Temannya yang lain tertawa kecuali Yanti yang berpikir itu tidak lucu. Teman-temannya saja yang pada receh.

"Udah, udah, bacot lo pada." Lerai Arga yang sudah menjatuhkan standar motornya. Turun dari motor kesayangannya itu.

"Jadi tujuan kita kesini buat ngajak Lia jalan-jalan sore." Kata Hadi duluan.

Lia mengerutkan dahi, "Jalan-jalan buat apa? Aku kan baru pulang."

Jessica memutar kedua bola matanya malas. Temennya polos bener sih.

"Ya mau jalan-jalan aja rame-rame, pasti Lia suntuk kan dirumah terus? Kita juga baru pada pulang kok, cuma tadi ganti baju dulu bentar dirumah Layla." Jelas Jessica tak mau ribet.

Lia berpikir sejenak, benar juga. Kalau dipikir-pikir memang ia sudah begitu suntuk berdiam diri dirumah ini. Tingkah laku seluruh keluarga tirinya yang semena-mena membuatnya muak. Di komplek pun Lia sudah tidak punya kenalan lagi karena tidak punya waktu bermain.

Tapi...

"Gak mau ah." Ujar Lia dengan lembut. Ia menggeleng pelan.

"Loh, loh, loh, gak ada penolakan untuk kita para orang beriman ini." Kata Martin lalu memandang teman-temannya, seraya menunjuk sebentar.

"Aamiin.." Sahut teman-teman yang lain.

"Gak mau... Kalian pulang aja ya? Nanti Lia ambilin minum sama makanan sebentar, masuk dulu."

"Emang kenapa sih? Itu namanya nggak menghargai kedatangan kita." Ujar Farel angkat bicara, "Aww.." Cowok itu meringis kesakitan ketika menerima cubitan kecil di pinggang, dari Zidny dibelakangnya.

"Kasar banget ih!" Seru Zidny tak suka. Farel kini memilih diam, tangan kanannya mengelus-elus pelan pinggangnya yang terasa perih selagi memandangi wajah kesal Zidny dari kaca spion motor.

"Ya ampun, ada apa nih anak muda rame-rame?" Sahut seseorang dari dalam rumah. Itu ibu tiri Lia. Ia keluar dengan senyum ramah di bibirnya. Tangannya menyentil pelan bahu Lia, "Ayo Lia diajak masuk temen-temennya, masa dibiarin gini aja."

Lia mengerjapkan kedua matanya, menatap ibu tirinya tak percaya. Tak lama kemudian ia tersenyum paksa.

"Eh, iya, masuk sini." Kata Lia lalu membuka lebar pintu rumahnya. Bergantian teman-temannya mendekat dan mencium punggung tangan ibu tirinya.

"Makasih tante. Tapi kali ini kita ga masuk ke dalem dulu tan, sebagai gantinya, bolehkan kita semua ngajak Lia jalan-jalan?" Ujar Arga berupaya seramah mungkin.

"Oh, boleh dong. Ya udah Lia, ganti baju dulu gih." Perintah ibu tiri Lia yang langsung dituruti. Segera Lia

"Idih, fake." Gumam Zidny pelan namun terdengar. Merasa diperhatikan, gadis tersebut lalu memalingkan pandangannya sambil menjentikkan jari. "Fakeu love... Fakeu love..." Sambungnya kini bernada, seolah sedang bernyanyi.

Teman-temannya hanya menahan tawa sebisa mungkin.

CLASSMATESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang