34. Lia (3)

3.1K 336 38
                                    

"Jadi... Ada yang mau diceritain?" Tanya Zidny membuka suara. Kini mereka tengah duduk bersantai dipinggir sungai beramai-ramai. Ada banyak kaleng berisi minuman dan beberapa snack yang ternyata sudah mereka siapkan sebelum menjemput Lia.

Hasil dari patungan tentunya.

Lia menoleh pelan, lalu kembali memandang lurus ke air sungai.

"Nggak ada." Jawab Lia dengan suara memberat, namun mata merahnya tak bisa berbohong. Perlahan air mata yang sedaritadi ia bendung mengalir pelan dipipinya. "Aku cuma capek." Sambung Lia lalu menenggelamkan wajahnya disela kedua tangan yang ia taruh diatas lutut.

Zidny, Jessica, Yanti lekas mendekat dan memeluk Lia bersama. Teman-teman yang lain pun begitu kecuali yang laki-laki.

Baru saja Roo dan Bimo ikut membentang tangan, ingin bergabung untuk memeluk teman-temannya, mereka sudah diusir kasar oleh tatapan melotot Layla.

"Aku udah beberapa kali pengen kabur dari rumah, tapi nggak bisa. Mereka selalu pura-pura baik di depan keluarga aku yang lain. Nggak ada keluarga aku yang percaya kalo keluarga tiri aku jahat." Jelas Lia dengan tangisan yang lebih kencang, emosinya kini meluap. "Mereka cuma tahu kalo aku remaja SMA yang punya masalah kecil dirumah lalu ngambek dengan cara kabur dari rumah."

"Lia..." Lirih Gaby yang ikut sedih melihat salah satu temannya kini terlihat rapuh. Snack yang dari tadi ia makan terlupakan begitu saja.

"Aku harus gimana...." Sambung Lia dengan suara bergetar. "Bunda aku meninggal karena kecelakaan pesawat waktu aku masih SMP, nggak lama dari itu, Ayah nikah lagi dengan alasan nggak mau bikin hidup aku kesepian. Tapi setahun setelahnya, Ayah punya penyakit kanker, dia berhenti bekerja karena kondisinya nggak sanggup lagi untuk itu. Disaat itulah hidup aku mulai redup lagi... Keluarga tiri aku mendadak nggak sopan dan berubah total..." Lia kini menangis sekencang-kencangnya, membuat teman-temannya yang lain ikut menangis.

"Lia... Sabar..." Jawab Layla dengan mata berkaca-kaca. "Kami emang orang baru di hidup kamu, tapi kami janji nggak bakal memperlakukan kamu sejahat keluarga tiri kamu. Kami janji."

"Jangan nyerah, ya? Masih ada kami disini buat kamu, Lia. Kami bisa semangatin kamu kapanpun, kami bisa dibutuhin saat kamu ngerasa capek, kami bakal bantu sebisanya." Kata Jessica penuh perhatian, lalu ia mengusap pelan puncak kepala Lia yang masih menangis.

"Anjir, sedih boy." Celetuk Arga kini dengan raut wajah sedih saat melihat teman-teman ceweknya saling berpelukan.

"Iya sedih banget, Ga." Sambung Martin yang ternyata sudah ikut menangis.

Melihat Martin yang menangis, Bimo disebelahnya melirik cowok itu tajam. "Jangan nangis anjir, cengeng amat." Protesnya lalu secepat kilat mengusap pipinya yang diam-diam sudah basah juga. Dia tidak boleh keliatan lemah.

"Puss... Ckckckck.. Puss... Meong.." Suara Hadi mengalihkan perhatian teman-temannya, pemuda itu tetap sibuk berjongkok sembari memberi makan kucing liar yang ada disekitar sungai. "Makan yang banyak yah, Udin." Sambung Hadi kini tersenyum sambil mengelus-elus kepala kucing liar yang sudah ia beri nama, Udin.

"Kita lagi sedih, bodoh." Kata Farel sudah geram sendiri ingin menghujat temannya itu. Sementara Bimo dan Arga hampir mengumpat kasar.

Hadi menoleh ke belakang, tertawa pelan di depan teman-temannya. "Nggak boleh sedih-sedih, Allah nggak suka." Ujarnya lalu kembali membelakangi. "Walaupun gue juga ikut sedih ini." Sambungnya namun dengan suara pelan, tak ingin terdengar oleh yang lain.

"Ya udah Lia nangis aja sepuasnya, biar di rumah nanti udah lega." Kata Wanto sudah khawatir melihat Lia dari tadi.

Melihat teman-temannya sangat perhatian kepadanya, Lia kembali menangis, air matanya turun deras. Ia bersyukur masih memiliki banyak orang yang sayang padanya.

"Jangan nangis lagi, Bunda kamu nggak bakal suka kamu sedih." Celetuk Wanto lagi. Layla, disusul dengan yang lain mengangguk setuju.



***




"Kami pulang dulu ya, Lia. Jangan lupa makan sama istrirahat... Istri... Istriharat... Ng.." Kalimat Gaby menggantung ketika lidahnya tiba-tiba berbelit-belit.

"Istirahat." Martin membenari. Gaby refleks menoleh kepadanya lalu menunjuk Martin dengan senang.

"Nah, itu!" Ujar Gaby.

"Iya, jangan banyak pikiran juga ya. Kalo ada apa-apa bilang." Kata Wanto sambil melempar senyum kepada Lia.

Lia yang dipesankan mengangguk pelan, balik tersenyum. "Iya, makasih ya, kalian semua!" Serunya sudah tak sedih lagi.

"Ya udah, kita pergi dulu. Assalamualaikum." Pamit Bimo yang sudah bersiap dimotornya, lekas pergi dari halaman rumah Lia bersama yang lain.

Lia menatapi kepergian teman-temannya hingga tak lagi terlihat. Bibirnya tetap tersenyum, lalu mendongak memandangi langit sore.

"Makasih, Bunda." Ujarnya penuh syukur.

***


Sesi cerita Lia nya sampe sini dulu ya, next update udah kembali ngebahas beberapa hal yang ada di sekolah mereka, hihi. Makasih buat yang masih mantengin cerita ini sampai sekarang dan kasih support, aku seneng bacanya. Makasih ya!

CLASSMATESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang