Perfect pain

3.9K 291 13
                                    

Sedaritadi, perasaan Freya tak tenang. Dirinya terus di hinggapi rasa gelisah dan takut secara bersamaan.

Dirinya bahkan terus menggigiti kuku tangannya, kebiasaannya saat gelisah.

"Frey udah siap?" tanya Rina saat melihat Freya tengah duduk di atas ranjangnya.

Freya hanya menggelengkan kepalanya pertanda tidak. Sampai kapanpun takkan siap.

Dirinya terlalu takut.

"Ayo berangkat sekarang, papi udah nunggu di bawah."

"Frey ... Frey takut," lirih Freya.

"Kenapa? Kita 'kan hanya ngambil tes lab dari BMP waktu itu, Frey," kata Rina.

Terdengar mudah, hanya mengambil hasil tes lalu pulang. Tapi kenyataannya bagaimana jika hasil tesnya buruk?

"Mami sama papi aja yang ngambil, Frey mau main sama Citcit aja."

"Frey, ayo nurut sama mami. Kita berangkat sama-sama."

Freya malah terdiam, menghadap jendela, memunggungi maminya.

Wajahnya memberengut kesal. Dia belum siap menerima hasilnya sebab Freya yakin hasil BMP-nya akan sama saja.

Paling dia harus bergantung pada obat lagi atau operasi pengangkatan limpa.

Itu adalah pilihan yang bodoh dan konyol. Itu sama-sama merugikan. Jika Freya terlalu banyak mengonsumsi obat, tentu saja itu juga akan berakibat buruk untuk limpa-nya.

Rina lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar dan duduk di samping Freya.

"Kamu harus optimis, Frey," kata Rina dengan lembut.

Freya masih diam tanpa bersuara. Entahlah, dia juga bingung pada dirinya sendiri.

Baiklah, tidak ada jalan lain selain menjalaninya. Freya hanya bisa pasrah.

Freya menghembuskan napas lelah. "Ayo berangkat, Mi."

***

Freya, mami dan papinya tengah menunggu kedatangan dokter Rayi di ruangan kerjanya dengan tegang.

Ini lah saat-saat yang di nanti oleh mereka selama seminggu kemarin.

Freya duduk di tengah, menyandarkan kepalanya ke pundak maminya.

Jantungnya berdegup cepat, perasaannya tak tenang. Dia juga terus melirik jam di pergelangan tangannya.

Pintu ruangan terbuka, terlihat dokter Rayi memakai jas putih dengan stetoskop terkalung di lehernya. Di tangan kanannya ada sebuah map, mungkin itu adalah hasil dari lab milik Freya.

Gadis yang memakai dress baby pink dengan rambut yang di biarkan terurai itu membenarkan posisi duduknya menjadi tegak.

Baiklah, ini saatnya.

"Selamat siang, pak Haris, ibu dan Freya. Maaf membuat kalian menunggu," kata dokter Rayi dengan sopan.

"Ah tidak apa, Dok. Santai saja," balas Haris.

Dokter Rayi tersenyum canggung lalu mulai bertanya pada Freya. "Bagaimana perasaan kamu saat di BMP waktu itu?"

"Hmm ... mengerikan," gumam Freya.

Dokter Rayi meringis mendengarnya. Memang benar itu sangat mengerikan apalagi waktu itu Freya membuka matanya, pasti itu membuat dia shock.

Hope ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang