Chapter 4 - Gavin

1.7K 81 0
                                    

Tunas kelapa emang baik tumbuh di mana-mana, tapi enggak baik juga kalau cinta ini tumbuh di mana-mana? Yang ada malahan bahaya, is true?

~

Erlin mengacak rambutnya dengan frustasi. Entah sudah berapa lama ia berkutat dengan laptop dan buku Cakra yang tulisannya langka bukan main. Entah ia berniat menulis sungguhan atau cuma iseng-iseng saja menulis di bukunya itu. Jika seperti ini, harusnya dia masuk jurusan kedokteran saja yang mendukung bakat menulisnya itu.

Drrrt drrrt

Erlin mendengus kesal kala mendengar getaran yang begitu mengganggunya itu. Setelahnya, dia langsung bangkit dari duduknya dan menyambar handphone-nya yang ada di atas nakasnya.

"Astaga Erlin, lo kenapa lama banget sih. Lagi berak atau lagi ngapain sih lo?" sembur Dira dengan suara cemprengnya. Cepat-cepat Erlin menjauhkan handphone-nya itu dari telinga sebelum gendang telinganya benar-benar pecah.

"Njir, omongan lo itu lho Dir, difilter dulu kek biar rada-rada bersih dikit." saran Erlin menggosok-gosokkan telinganya.

"Bodo Lin bodo, kalau sama Putra omongan gua baru deh gua filter biar kedengeran mulus." ucap Dira tersenyum senyum sendiri tanpa Erlin ketahui sedikit pun.

"Serah lo deh. Jijik gua dengernya. Napha sih lo ganggu mulu tahu enggak." ucap Erlin dengan ketusnya.

"Ye, sabar kali Bu Krani, ini juga baru mau ngomong."

"Ya cepetan ngomong curut."

"Sabar elah, songong banget lo ngatain gua curut. Cantik-cantik gini juga. Belum ae gua selesai ngomong, lo udah main sambar aja kayak petir di siang bolong. Samperin gua sini Lin."

"Hah? Maksud lo apa sih?" teriak Erlin karena terkejutnya.

"Aduh Lin, gua tahu lo sering teriak-teriak untuk ngumpulin junior lo itu, tapi enggak di sini juga kali, telinga gua bisa tuli kalau gini elah."

"Aduh, omongan lo kaya yang enggak aja. Emang tadi lo enggak teriak-teriak apa? Sadar woy, masih muda jangan pikun."

"Hehe, sans ae kali neng. Itu juga refleks. Jemput gua sini cepetan, sebelum gua digebet sama cogan-cogan yang lewat."

"Huwek, najis Dir najis. Ngomong yang jelas dong Dir. Gua tahu lo enggak punya status yang jelas sama si Putra, tapi obrolan kita jangan dibawa enggak nyambung gini dong."

"Anjay, lo kok sadis banget sih. Gua lagi di halte deket rumah lo ini. Mobil gua mogok, dan--dan gua lupa enggak bawa dompet Lin. Jemput gua ya ya ya," ucap Dira dengan melasnya.

"Ini udah malem woy. Lo bisa minta supir lo jemput kan. Kenapa harus gua coba." jawab Erlin tidak terima.

"Sumpah, lo jadi sahabat jahat banget sih. Lo enggak takut apa cecan kek gua digodain sama cowok-cowok yang kepincut sama kecantikan gua? Gua udah mepet banget nih Bu Krani, handphone gua bentar lagi mati, jemput yah."

"Ish, alasan lo klasik banget sih, punya gebetan banyak tapi giliran susah minta tolongnya sama gua, lo enggak tahu apa? Gua lagi ngerjain proposal dan besok harus udah selesai. Lo pengin lihat gua dicincang hidup-hidup sama si Cakra apa?"

"Dengerin gua ya Erlin yang cantik, sejutek-juteknya Cakra sama orang, dia itu tetep bersikap manis sama lo. Yah, walaupun perilakunya beda, tapi dari yang gua lihat, lo itu istimewa buat Cakra. Jadi enggak mungkin deh si Cakra nyincang lo, yang ada dia bakal kehilangan teman hidupnya deh. Percaya sama gua."

"Istimewa pala lu peyang. Jangan bullshit deh Dir. Omongan lo udah kayak orang berpengalaman aja. So, jadi enggak nih gua jemput? Kalau enggak gua mau lanjut--"

Erca (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang