Terkadang seseorang membutuhkan jeda, bukan untuk lari melainkan untuk memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan.
~Di dunia ini siapa sih yang tidak suka membaca? Banyak dong. Apalagi baca novel, sepertinya hampir semua cewek di permukaan bumi ini menyukainya. Lebih-lebih jika genre-nya romance, enggak bakalan berhenti baca sebelum bapernya berhenti.
Seperti Erlin, ia juga sama seperti cewek kebanyakan yang suka membaca novel. Novel terjemahan berjudul City of Ashes karya Cassandra Clare kini tengah bertengger manis di tangan kiri Erlin. Biasanya saat membaca, tangan kirinya memegang novel dan tangan kanannya memegang makanan. Tapi berhubung tangannya belum sembuh, Erlin harus menyingkirkan kebiasaannya itu satu kali saja.
Berterima kasihlah ia pada semua teman-temannya yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing hingga tak menyadari bahwa Erlin sudah mengendap-endap keluar dari kelas. Dan di sinilah Erlin berada, di depan kelas yang tak ia ketahui kelas apa—yang kebetulan menghadap langsung pada lapangan. Tapi Erlin tak sedikit pun peduli pada teman satu sekolahnya yang tengah bermain basket hingga membuat sekumpulan cewek-cewek tak jauh darinya itu memekik kegirangan. Erlin tak peduli. Selama ia lepas dari kungkungan Dira dkk, maka ia harus memanfaatkan waktu itu sebaik mungkin. Bagiamana tidak? Erlin merasa jadi anak kecil yang tengah sakit parah, yang kemana-mana harus diikuti dan diperlakukan semanis mungkin. Cih, Erlin muak dengan semua itu. Memangnya ia anak kecil apa?
“Yang niat seriusin dicuekin, tapi dirinya sendiri malah seriusin berlembar-lembar kertas yang enggak punya perasaan.” cibir seseorang yang sontak saja langsung mengalihkan perhatian Erlin seketika.
Embusan napas kasar Erlin langsung terasa setelahnya. “Dibiasain salam dulu sebelum ngagetin orang bisa enggak kak?” tanya Erlin dengan wajah datarnya.
“Kalau salam dulu namanya bukan ngagetin dong,” jawab Gavin dengan muka tak kalah santainya.
Erlin langsung mendelik seketika. “Iyah, bukan ngagetin tapi ngajak ngobrol.” sahutnya kelewat ketus.
“Alah, selow ngapa dek. Namanya juga lagi bercanda ya jangan dibawa serius atuh. Kalau perasaan kakak lah enggak boleh kamu bawa bercanda, wajib diseriusin hukumnya.”
Salah satu alis Erlin langsung menaik seketika. “Lagi latihan ngegombal cewek?” tanyanya sok polos.
Kali ini bukan Erlin yang mengembuskan napasnya dengan kasar, tapi Gavin yang mengembuskan napasnya dengan frustasi. “Enggak lagi latihan aja dianggap bercanda apalagi yang beneran. Maunya cewek itu gimana sih? Frustasi lama-lama kakak deh,” ucap Gavin yang menjadikan Erlin tempat berkeluh kesahnya tiba-tiba.
Erlin langsung menampilkan kekehan gelinya seketika. “Cewek itu enggak butuh gombalan kak, mereka butuhnya bukti.” sahut Erlin sembari menutup novelnya dengan perlahan.
Gavin langsung menyerongkan tubuhnya menatap kedua manik Erlin setelahnya. “Emang kakak kurang ngasih bukti apa sih sama kamu dek?” tanya Gavin tak mengedipkan matanya sedikit pun.
Erlin speechles. Mendadak wajah cengonya kembali muncul di hadapan Gavin. Ia tak tahu harus menjawab apa. Mendadak pikirannya jadi blank. Isi otaknya serasa langsung menguap begitu mendengar pertanyaan Gavin yang berhasil menggemparkan seluruh jiwa raganya.
“Em—kak—“
“Gua serius Erlin.” potong Gavin dengan kalimat satu tarikan napasnya.
Tubuh Erlin mendadak kaku. Ia serasa dihadapkan pilihan tak menguntungkan di depan matanya. Menjawab serasa salah, apalagi tak menjawab. Bisakah ia memutar waktu dengan kembali ke kelasnya hingga tak bertemu Gavin dan mendengar semua kalimat mengejutkannya saat ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Erca (COMPLETED)
Teen FictionPramuka? Lelah, letih, capek dan tentunya banyak pengalaman. Kata siapa anak pramuka cuma bisa PBB, Satya Dharma, ataupun sandi-sandi? Karena nyatanya, anak pramuka juga manusia. Yang punya kehidupan masing-masing dengan seribu lika-liku perjalanann...