Chapter 31 - Suasana Baru

722 46 2
                                    

Butuh kepercayaan untuk membangun sebuah komitmen. Begitu juga diri ini yang membutuhkan jeda, untuk menerima secercah tinta berwarna luka.
~

Erlin mengerjapkan kedua matanya dengan perasaan yang begitu bahagia. Perasaan yang baru ia rasakan setelah beberapa hari mendekam dalam rumah sakit yang tak ada enak-enaknya. Erlin rindu kamarnya. Erlin rindu suasana rumahnya yang begitu membuatnya betah tinggal di sana. Secara, rumah kan memang tempat pulang paling nyaman bagi seorang Erlin. Dan, tentu saja ia merindukan sekolahnya. Semuanya.

Tentu saja Erlin bosan menghabiskan sepanjang harinya hanya dengan tidur-tiduran tak berkesudahan yang membuatnya lelah sendiri. Lelah hati lelah pikiran. Ia bosan sendirian terus. Secara kan paman bibinya juga harus mengurus anak mereka sendiri, juga sesekali harus bolak-balik menjemput dan mengantar Agam pulang ke rumah. Dan tentu saja ia bisa menghitung dengan jarinya sendiri berapa kali paman dan bibinya bertandang dengan sebenarnya ke kamar inapnya. Dan Erlin, cukup bahagia mengingat hari kemarin.

Hari, dimana orang yang mengingatnya datang menjenguknya di sela-sela kegiatan mereka. Dira, Alvi, Gavin—dan Cakra. Yah, entah mengapa dikunjungi seorang Cakra merupakan kebahagiaan tersendiri bagi seorang Erlin.

Setelah berbincang-bincang bersama rekan bantaranya beberapa jam, akhirnya mereka izin pulang juga. Sebenarnya Erlin merasa kehilangan, tapi rasa itu raib seketika begitu melihat Cakra masuk kembali ke kamar inapnya—setelah membujuk paman dan bibinya mati-matian untuk menjaganya khusus malam ini, berhubung besok adalah hari minggu.

Dan Erlin baru menyadari jika kedatangan Cakra merupakan hal yang paling dinanti-nantikannya sepanjang hari ini.

Kenapa sih Er? Gua risih dilihatin lo sebegitunya,” protes Cakra saat menyadari bahwa Erlin tengah memperhatikannya.

Mata Erlin langsung memicing seketika. “Kenapa sih kok tiba-tiba mau nemenin gini?”

“Emang apa salahnya jagain orang yang disayang sih,” jawab Cakra dengan santainya. Dan sedetik kemudian, dia benar-benar merutuki kegamblangannya barusan. Kenapa bisa keceplosan coba?

“Hah apa?” tanya Erlin mendadak refleksnya begitu bagus.

“Enggak,” jawabnya singkat tanpa menatap Erlin sedikit pun.

Erlin langsung mencebik seketika. “Kok gitu sih? Padahal gua tadi denger loh lo ngomong apaan Ra,”

“Ya kalau udah denger kenapa masih tanya lagi sih?” tanya Cakra mendadak geram terhadap sikap menyebalkan seorang Erlin.

“Ya—ya pengin mastiin aja gitu gua salah denger apa enggak,” jawabnya ragu-ragu.

Tangan kekar Cakra langsung beralih mengusap punggung tangan Erlin seketika. “Enggak perlu dipastiin, udah pasti kok ini.” sahutnya lengkap dengan senyum tipisnya.

Walaupun bukan pertama kali, tapi Erlin tetap saja terpana melihat senyum tipis Cakra yang tak setiap saat bisa dilihatnya. Dan tanpa menjawab sepatah kata pun pernyataan Cakra barusan, Erlin sudah mengatakan semuanya, lewat tatapan matanya yang tak beralih sedikit pun dari manik mata Cakra.

***

“Ra, kok cepet sih? Katanya—“

Kalimat Erlin yang tadinya hendak menanyakan kenapa Cakra bisa secepat ini sarapan di kantin Rumah Sakit, langsung terhenti seketika begitu melihat seseorang tengah berjalan menghampirinya.

“Gimana kabarnya nak?” tanya orang itu dengan tatapan lembutnya yang berhasil membuat Erlin terpaku di tempatnya.

“K—kok di sini?” tanya Erlin tergagap.

Erca (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang