Adanya bumbu dalam makanan tentu saja membuatnya lebih wajar saat dimakan. Dan adanya bumbu dalam suatu hubungan, tentu saja membuatnya menjadi wajar saat diperhatikan.
~Boleh tidak sih Erlin berprasangka?
Selama hubungannya yang hampir dua tahun dengan Cakra, tak pernah sekali pun ia ambil hati seperti ini. Biasanya, ia akan bodo amat dengan semua tingkah Cakra yang tentu saja membuatnya naik darah. Tentu saja ia tak pernah ambil pusing dengan semua perhatian, kepedulian, bahkan kekhawatiran Cakra saat ini. Karena menurutnya, itu hanya bukti pertanggungjawaban dari jabatannya yang seorang Pradana Putra di pangkalannya itu. Yah, memang beda ambalan. Tapi—hampir semua rekannya yang cowok akan seperti itu. Katanya sih—jadi cowok itu harus tanggung jawab.
Dan sekarang, siapa yang harus bertanggung jawab dengan semua rasa aneh yang tak Erlin mengerti kali ini? Memangnya—Cakra betulan mau bertanggung jawab? Jika tidak? Eht eht, kenapa Cakra harus banget tanggung jawab sih? Memangnya dia sudah berbuat apa coba? Bukannya—di sini Erlin yang salah yah? Dia—yang sudah dengan kekanak-kanakannya langsung marah gitu aja? Kenapa gua jadi tambah bodoh sih?
“Diam-diamannya udahan ngapa? Enggak enak banget nih gua makan sendirian kayak orang kelaparan tiga bulan enggak makan,” gerutu Dira dengan muka cemberutnya.
Yah, disinilah mereka berlima berada. Makan bersama di kantin sekolah—bukan, hanya Dira saja yang makan, dan yang lain hanya diam-diaman dengan pikirannya masing-masing. “Heeh tuh. Gua aja yang lihat udah gregetan tahu enggak.” sahut Fendi yang sudah sedari tadi menahan untuk tidak menjitak Cakra yang begitu santai bak di pantai itu.
“Lagian yah—lo berdua itu biasanya aja debat mulu enggak kelar-kelar. Kenapa sekarang jadi diam-diaman gini sih? Gengsi buat minta maaf?” lanjut Putra tak sabaran.
“Emangnya lo berdua marahan kenapa sih?” tanya Dira penasaran. Yah, katakan saja Dira itu lemot. Padahal kemarin sudah dijelaskan bukan sih?
Erlin dan Cakra sontak langsung saling melirik seketika. “Sebenarnya gua juga enggak tahu kenapa gua bisa marah ke pradana satu ini tahu enggak,” jawab Erlin dengan santainya.
“Bangke.”
“Sialan.”
“Anjir.”
Umpatan ketiga manusia itu langsung terdengar seketika. Dan sumpah demi apa, Cakra benar-benar menahan tawanya agar tidak menyembur begitu melihat wajah polos Erlin serta wajah sengak kedua manusia di samping dan depannya itu.
“Gua tahu, lo enggak terbiasa bagi masalah lo selain sama Dira. Jadi waktu pertama kalinya lo dapat saran dari orang lain, wajar aja lo ngerasa kayak—terusik gitu. Dan gua, jujur enggak pernah masalah sama hal itu. Mau lo marah, mau lo ngambek, atau mau lo ngejauhin gua kayak kemarin—itu enggak bakal ngerubah apapun Er,”
Tak salah dengarkah mereka kali ini?
Sumpah, ini kalimat terpanjang yang pernah Cakra ucapkan di depan keempat manusia di satu meja ini. Jadi, jangan salahkan Dira dan Erlin yang sampai terbengong-bengong saking kagetnya loh yah? Perihal Putra dan Fendi, mereka mah, hanya tersenyum tipis setelahnya.
“Lo—kesambet Cak?” tanya Dira tanpa mengedipkan matanya sedetikpun.
“Ngerubah apaan coba?” tanya Erlin memicingkan matanya.
“Lo tetep Erlin cerewet yang istimewa di mata gua.”
Tenggelamin aja gua ke rawa-rawa.
***
Erlin tidak bersalah. Tentu saja.
Salahkan saja Cakra yang sudah bicara ngawur hingga membuatnya uring-uringan sendiri sekarang. Tak hanya itu, sekarang ia jadi korban bullyan Dira mati-matian hingga menarik minat teman yang lainnya untuk ikut membully Erlin juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Erca (COMPLETED)
Teen FictionPramuka? Lelah, letih, capek dan tentunya banyak pengalaman. Kata siapa anak pramuka cuma bisa PBB, Satya Dharma, ataupun sandi-sandi? Karena nyatanya, anak pramuka juga manusia. Yang punya kehidupan masing-masing dengan seribu lika-liku perjalanann...