Bukankah tak ada hal yang lebih membahagiakan dibanding melihat senja kali ini berdua bersamamu?
~Rasanya, ada satu ruang yang langsung terlengkapi begitu melihat Cakra begitu antengnya menemani Erlin mendorong motornya hingga bengkel, yang jika dihitung butuh waktu satu setengah jam untuk sampai di sana. Dalam relung hatinya yang paling dalam, sebenarnya Erlin merasa tidak enak hati pada Cakra. Memangnya dia siapa hingga Cakra rela membuang tenaga berharganya menemani cewek cerewet yang hanya sebatas kraninya itu?
Tapi—Erlin bahagia. Entah mengapa, rasa lega ini melebihi rasa leganya waktu ditolong Gavin waktu malam itu. Iyah, Erlin sendiri bahkan bingung mengapa ia jadi sealay ini hanya karena ditemani Cakra. Siapa tahu, Cakra cuma kasihan makanya mau menemaninya dengan berat hati bukan?
“Eht,” Erlin langsung terlonjak kaget begitu merasakan sesuatu yang dingin menempel di pipi mulusnya. “Thanks.” lanjutnya begitu menyadari bahwa Cakralah yang telah melakukan hal itu.
“Udah jam tujuh, enggak papa belum pulang?” tanya Cakra begitu melihat Erlin yang sepertinya begitu lega setelah meneguk hampir setengah botol air mineral yang tadi diberinya.
Erlin buru-buru mengelap keringat di pelipisnya yang hampir saja jatuh ke pipinya itu dengan segera. “Enggak apalah. Emangnya kenapa sih?” tanya Erlin dengan bingungnya. “Eht iyah, sorry deh Ra gara-gara gua, lo jadi pulang telat kan yah? Makasih deh. Kalau lo emang lagi buru-buru, gua pulang sendiri juga enggak apa kok.” lanjutnya tersenyum canggung. Iyah, motornya harus terpaksa Erlin tinggal di bengkel. Sebab katanya, bannya bukan hanya kempes, juga pemilik bengkelnya sedang buru-buru makanya khusus malam ini tutup lebih awal. Jadi yah gini, Erlin dan Cakra harus mampir dulu ke supermarket—yang alhamdulillahnya tepat berada di depan bengkel tadi untuk melepas rasa lelah mereka.
Cakra langsung menatap Erlin tajam seketika. “Bukan gua, tapi lo.” ucapnya singkat yang berhasil membuat Erlin mengerutkan keningnya dengan bingung.
“Udah sih, gua enggak masalah Ra,” tegas Erlin sekali lagi. “Btw nih ya, lo laper enggak Ra? Makan dulu yuk, laper nih gua. Sono izin dulu sama bunda lo—khusus hari ini pulang telat gara-gara ngurusin gua dulu.” lanjutnya sembari menunjukkan sederet gigi putihnya.
“Gua bukan anak mama.” ucap Cakra sembari mengacak pelan puncak kepala Erlin dan langsung menarik pergelangan tangan Erlin seketika.
***
Seumur-umur Cakra menghabiskan masa jabatannya bersama Erlin, tak pernah sekali pun dia merasa se—apa yah? Bahagiakah? Senangkah? Atau justru beruntung? Beruntung bahwa ia lah orang pertama yang melihat Erlin sore tadi?
Sepanjang masa jabatannya, Cakra tak pernah sekali pun bisa memperhatikan Erlin sedekat ini. Walaupun cerewet, tapi ternyata Erlin orang yang gigih juga. Satu setengah jam mendorong motor bersamanya, ternyata Erlin berhasil tak pernah sekali pun mengeluh kepadanya. Jika cewek lain, mungkin Cakra sudah akan buru-buru meninggalkannya karena mendengar protesan tak berujung dari cewek lain.
Dan seperti biasa, Erlin tetaplah Erlin yang seperti biasa. Cerewet, dan tak bisa berhenti bicara. Sepanjang perjalanan, ia justru menceritakan segala hal, yang tentu hanya dibalas singkat oleh Cakra. Tapi Erlin sepertinya tak pernah peduli dengan respons singkat Cakra yang sudah kelewat biasa itu hingga membuatnya terus berceloteh hal unfaedah sampai mereka tiba di bengkel. Dan mungkin—itulah cara Erlin melampiaskan kelelahannya dengan terus saja berceloteh.
“Beneran lo pesan ini?” tanya Cakra tidak percaya.
“Ya—iyha. Emangnya kenapa? Lo enggak suka pedes? Apa kita pindah tempat aja?” jawab Erlin kembali bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Erca (COMPLETED)
Teen FictionPramuka? Lelah, letih, capek dan tentunya banyak pengalaman. Kata siapa anak pramuka cuma bisa PBB, Satya Dharma, ataupun sandi-sandi? Karena nyatanya, anak pramuka juga manusia. Yang punya kehidupan masing-masing dengan seribu lika-liku perjalanann...