Chapter 36 - Siapa

684 37 2
                                    

Pikiran ini berkata tak acuh, tapi mengapa hati ini meringis ngilu setelah melihatnya?
~

“Itu makannya biasa aja bisa enggak sih Ibu Krani? Gua berasa lihat orang enggak makan tiga bulan deh.” protes Dira begitu melihat cara makan Erlin yang seperti orang kelaparan.

Setelah sekian lama absen mengunjungi kantin dan terbiasa makan bekal yang dibawakan bibinya, Erlin langsung memuaskan dirinya mencicipi kembali makanan favorit di kantin sekolahnya ini setelah kemarin melepas kruknya. Walau masih sedikit ngilu, tapi tak apa. Yang penting Erlin bisa makan bakso kan?

Cengiran khas Erlin langsung bisa Dira lihat setelahnya. “Maklumin dikit deh Dir sahabatnya yang udah lama enggak makan bakso kesayangan,” sahut Erlin dengan nada manjanya.

Dira bergidik ngeri mendengar nada manja yang baru terlontar dari bibir ranum Erlin. “Kesayangan pala lo peyang? Lo pikir itu handphone rasa perpustakaan lo eht?” tanya Dira dengan nada sinisnya. Kenapa perpustakaan? Ya karena Erlin terlalu banyak menyimpan ebook dan quotes-quotesnya yang tak berkesudahan.

Erlin tentu tak mengambil hati nada sinis yang baru ditangkap indra pendengarannya itu. Sudah terlalu hapal dia mah dengan segala ekspresi Dira. “Anggap aja gitu deh,” jawab Erlin dengan tak acuhnya. “Eht Dir, gimana lo sama Putra?” tanya Erlin penasaran.

Iyah, dibanding membahas hubungan Erlin yang tak ada kejelasannya itu, lebih baik membahas hubungan Dira dan Putra yang mendadak dijatuhi jalan terang setelah sekian lama kan?

Senyum malu-malu langsung Erlin lihat setelahnya. Idih, sok banget ini anak satu. “Lebih baik,” jawabnya dengan sumringah. “Tapi enggak maju-maju.” lanjutnya dengan kesal seketika.

Erlin benar-benar menahan tawa yang ingin keluar bebas dari mulutnya itu. “Makanya lo dorong si Putra bangsa biar maju yah. Jadi enggak stuck mulu di tempat.” saran Erlin sok bijak.

Dira langsung memutar bola matanya dengan jengah seketika. “Idih, sok-sokan nasehatin orang. Lah hubungan lo sendiri gimana sama si Cakra? Udah mantep mau milih yang mana?” tanya Dira dengan picingan matanya yang mampu membuat Erlin kicep seketika.

Erlin langsung meringis seketika. Gini nih balasannya sok-sokkan bijak kek pakar cinta, kemakan omongan sendiri. Tapi kalau dipikir-pikir, emang bener juga sih perkataan Dira barusan. Ia sendiri saja bingung ingin menjalin hubungan dengan siapa. Cakra? Alvi? Atau Gavin? Aduh, otaknya serasa macet seketika kalau disuruh mikir-mikir yang susah. “Yang lain deh Dir. Bahasan kek gini tuh udah kek rumusnya Pak Ofa yang bikin saraf bundet tahu enggak,” akunya dengan wajah memelas.

Dira langsung berdecih seketika. “Alah, cemen deh lo Ibu Krani. Kalau disuruh sok cuek di depan Cakra aja berani. Apalagi kalau disuruh debat sama Alvi, semangatnya subhanallah. Nah kalau disuruh sok lugu di depan Kak Gavin apalagi. Nah ginian, mentalnya kek krupuk disiram air deh. Lemah.” cibir Dira seketika.

Erlin langsung mendengus seketika. Perkataan Dira memang selalu tepat sasaran sih. Sebenarnya Erlin juga cepek loh kabur-kaburan mulu kalau bicara ginian, tapi gimana yah? Gengsi selalu jadi alasan utama sebuah pengakuan. Termasuk Erlin salah satunya.

“Eht eht, itu Kak Gavin bukan sih?” tanya Dira heboh yang langsung membuat lamunan Erlin langsung buyar seketika.

Dengan penasaran, Erlin pun langsung ikut menolehkan kepalanya pada meja dekat pintu kantin dengan tatapan tak percayanya.

Sekali lagi, Erlin mengerjapkan matanya beberapa kali guna memastikan apa yang dilihatnya itu memang fakta atau cuma khayalan. Tapi—semuanya tetap sama.

Di depan sana, Gavin tengah bercengkerama dengan manisnya bersama seorang gadis. Melihat seorang lelaki yang tengah bercengkerama dengan seorang gadis memang hal lumrah bukan? Dan Erlin tentu tahu siapa gadis di depan sana. Mantan sekretaris OSIS yang pastinya akrab dengan mantan sang Waketos bukan?

Erca (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang