Chapter 34 - First Love

838 42 0
                                    

Kecewa boleh, benci jangan.
~

Katanya, benci dan cinta itu beda tipis. Seseorang yang dulu kamu benci, bisa jadi sekarang kamu mencintainya. Dan seseorang yang dulunya kamu cintai begitu teramat, kini mendadak jadi kamu benci saking tingginya.

Erlin tak pernah membenci seorang Alvi Nur Barokah, ia hanya tak suka dengan teman kelasnya yang satu itu. Suka seenaknya sendiri, tukang tidur, dan suka semena-mena terhadap orang lain. Tapi entah ada angin apa, semenjak ia terjebak dengan Alvi dalam tugas kelompok produktifnya—Alvi menjadi berubah. Semua kejelekan yang pernah Erlin lihat dalam diri Alvi sebelum hari itu seolah hilang, terganti dengan hal-hal baru, yang baru Erlin pahami sekarang.

Alvi itu sosok cowok menyebalkan yang suka sekali membuatnya menarik urat, tapi ia juga bisa bersikap manusiawi di balik semua sifat mengesalkannya itu. Seperti saat ini, di saat kedua cowok yang biasanya selalu ada untuk dirinya, tak berpihak kepada dirinya, Alvi justru dengan senang hati mengulurkan tangannya membantu Erlin melewati kejadian paling tak Erlin harapkan sepanjang hidupnya.

Bukannya Erlin egois, apalagi hanya ingin memanfaatkan Alvi yang memang tak tahu-menahu masalah ia dan sang ayah, tapi Erlin hanya butuh seseorang di saat seperti ini. Seseorang yang bisa saja menenangkannya di saat ia membutuhkan nasehat untuk membuka pikirannya. Ataupun seseorang yang bisa mendengarkan segala keluh kesahnya kala keluhan tak berkesudahan terus bercokol dalam kepalanya.

“Nyesel gua bawa lo ke sini kalau buat jadi patung hidup.” cibir Alvi kala melihat Erlin yang tak kunjung bangun dari lamunannya.

Alvi tetaplah Alvi, cowok menyebalkan yang mulutnya kelewat jujur. Iyah, menyadari mood Erlin yang terlihat tak baik semenjak melihat kejadian membingungkan di depan gerbang tadi, Alvi terpaksa membawanya ke rumahnya sendiri—bukan mengantarnya pulang seperti apa yang Erlin minta tadi.

Erlin langsung tersadar dari lamunannya seketika. Diliriknya Alvi yang juga tengah menatapnya itu dengan tatapan langka yang baru Alvi lihat kali ini. Tatapan penuh kesedihan menurut Alvi. “Gua enggak minta lo bawa gua kesini ish,” decak Erlin setelah menormalkan kembali ekspresinya.

“Ya udah, pulang sendiri sana,” ucap Alvi dengan cueknya.

Remote yang tengah berada dalam genggaman Alvi langsung direbut Erlin setelahnya. “Al,” bujuk Erlin dengan tatapan melasnya.

Andai saja keadaannya bukan seperti ini, mungkin Alvi sudah menggoda Erlin habis-habisan. Ayolah, mana mungkin seorang Calandra Erlina Auli sudi menampilkan wajah memelasnya di hadapan Alvi. Karena sepengetahuan Alvi, Erlin itu orangnya pantang mundur. Mau sesusah apapun keadaannya, ia pasti selalu keep strong, walau dalam hatinya begitu dongkol.

“Kenapa sih srikandi?” tanya Alvi sembari menyerongkan tubuhnya untuk menatap Erlin.

Erlin langsung menggembungkan pipinya seketika. “Lo tadi niat bantuin gua enggak sih Al?” tanya Erlin dengan tiba-tiba.

Kernyitan di kening Alvi langsung bisa Erlin lihat kemudian. “Emangnya lo kenapa? Lagi dibuntutin laki-laki yang waktu itu? Atau lagi kabur dari kejarannya si waketos eht? Atau jangan-jangan, lo lagi berantem lagi sama si pradana?” tanya balik Alvi dengan ekspresi jengahnya.

“Kok itu sih? Gua lagi enggak ngomongin masalah itu Alvi,” decak Erlin setelahnya.

Alvi langsung melunakkan ekspresinya sedetik kemudian. “Terus apa? Mau ngomongin perasaan lo gitu?” tanyanya kelewat anteng.

Erlin langsung mendelik seketika. “Terus aja ngelantur enggak jelas lo. Narik urat mulu gua bawaannya kalau ngomong sama lo Al,”

Alvi langsung menarik kedua bahu Erlin pelan hingga bersandar di punggung sofa kemudian. “Lo cuma butuh temen supaya lo enggak ngerasa kesepian. Gua bukan Gavin ataupun Cakra yang akan ngingetin lo supaya melapangkan dada, tapi gua Alvi srikandi. Musuh bebuyutan lo, yang akan selalu ada di saat orang lain enggak mau dengerin apa yang lo mau.”

Erca (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang