Chapter 10 - 3 In 1

1.2K 65 0
                                    

Satu macam simpul saja rasanya tak akan cukup untuk membangun sebuah pionering. Lalu salahkah aku jika berpikir hal lain dengan perhatian, kepedulian, dan kekhawatiran terpendam yang kalian berikan?
~

Rasanya, tulang Erlin akan rontok saat ini juga. Apalagi, lehernya terasa begitu kram ‘hanya’ karena menyender di bahu Alvi beberapa jam yang lalu. Terlebih, tubuhnya yang begitu lemas bagaikan jelly. Rasanya, terlalu melelahkan. Katakan saja Erlin lebay atau sejenisnya, karena nyatanya memang hal itu yang tengah dirasakan Erlin saat ini.

Tok tok

Ketukan pintu seketika langsung menyadarkan Erlin bahwa ia belum juga sampai di alam mimpinya. Sedetik kemudian, Erlin langsung bangkit dari posisi terlentangnya dan membuka pintu kamarnya kemudian.

“Non, ini ada kiriman buat non.” ucap Bi Inah sembari menyodorkan sebuah kotak berukuran sedang ke hadapan Erlin.

“Dari siapa bi?” tanya Erlin mengernyit bingung melihat tak ada nama pengirim kotak itu.

“Enggak tahu non, tadi mas-masnya enggak bilang dari siapa,” jawab Bi Inah dengan sopannya. “Ya sudah non kalau begitu saya permisi dulu non.”

Erlin hanya mengangguk kecil dan memasuki kamarnya sedetik kemudian. Erlin seketika langsung mengernyitkan keningnya melihat bungkusan yang ada di dalam kotak itu. Robot? Yang benar saja, memangnya dia anak kecil penggila robot apa?

Abqari Agam Agler, semoga kamu suka yah robotnya.

Deg

Seperti ada yang terjepit di dalam sana hingga membuat Erlin susah untuk bernapas. Paru-parunya terasa sempit dan dadanya terasa sakit. Apa—apa dia tidak salah membaca?

Mungkin benar jika seorang Ayah adalah sosok lelaki pertama yang berhasil membuat putrinya jatuh cinta. Tapi, bisakah aku berharap jika seorang Ayah bukanlah sosok lelaki pertama yang berhasil membuat putrinya patah hati dengan hebatnya?

Tak ada sakit yang melebihi saat ini. Tak ada perih yang melebihi saat ini. Tak ada pilu yang sememilukan ini. Dan tak ada pahit kenyataan yang sepahit ini.

Apakah tak ada kata lain selain kata yang tertulis dengan rapinya dalam kertas itu? Tak adakah kata lain yang bisa ia tuliskan untuk menyembuhkan luka yang sudah menganga? Bukan menabur garam pada luka yang sudah ada. Sakit? Tentu iyha, karena nyatanya, Erlin juga manusia yang punya perasaan juga punya hati.

Tes

Erlin membenci ini. Kenapa air mata sialan ini harus jatuh disaat yang tidak tepat? Kenapa air mata ini terus saja jatuh kala kepingan-kepingan mengenai dirinya datang secara perlahan? Ia benci. Erlin sungguh benci saat dirinya berubah menjadi selemah ini.

Kretak

Tanpa terasa, Erlin justru mematahkan potongan-potongan yang terpasang dengan sempurnanya untuk melampiasakan segala amarah, kekecewaan, juga kebenciannya karena sosok ‘dia’ mulai kembali datang mengusik kehidupan tentramnya.

“Kak Elin, kok lobotnya dirusak sih?” tanya Agam menghentakkan kakinya dengan kesal melihat kakaknya menghancurkan mainan yang berhasil menarik perhatiannya. Ia juga sampai menarik-narik baju Erlin dengan air mata yang sudah berkaca-kaca.

Erca (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang