Chapter 29 - Dua Rius

655 49 0
                                    

Apa harus aku rekam semua kekhawatiranku agar kamu percaya bahwa rasaku tak pernah main-main?
~

Entah apa lagi yang Cakra lupakan selain berpamitan pada rekan-rekannya yang masih duduk anteng di dalam sanggar. Argh yah, semua barang-barangnya masih di sana.

Persetan dengan semua itu, ada satu hal yang menjadi prioritas Cakra saat ini. Tanpa mengucapkan permisi atau membungkukkan punggungnya terlebih dahulu, Cakra langsung menerobos kerumunan ibu-ibu dengan langkah cepatnya. Astaga, sepertinya kesopanan seorang Cakra tengah tehalang untuk saat ini.

Langkahnya terus berpacu menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang untuk dirinya saat ini. Tak dihiraukannya napasnya yang sudah ngos-ngosan saking tak sabarannya ia untuk segera sampai di tempat tujuan.

“Hah,” Embusan napas Cakra terdengar begitu kasar saat melihat beberapa orang tengah duduk di depan sebuah kamar dengan wajah lesunya.

“Gimana?” tanya Cakra to the point saat melihat Dira yang sudah menyadari keberadaannya.

Dira langsung mengalihkan perhatiannya pada pintu kamar di depan sana. “Masih diperiksa,” jawabnya dengan lemah.

Nyatanya tak hanya Dira, tapi Cakra juga merasa badannya langsung melemah begitu mendengar kabar dari salah satu guru TU yang mengabarkan bahwa ada salah satu siswa SMK Tunas Bangsa yang mengalami kecelakaan, dan sialnya siswa itu adalah Erlin. Iyah, Calandra Erlina Auli.

Andi, selaku paman Erlin langsung mengusap bahu Cakra beberapa kali. “Erlin itu anak yang kuat, dia akan baik-baik saja.” Peringat Andi menenangkan Cakra, Dira, istri, dan dirinya sendiri.

Cakra langsung menatap Andi dengan tatapan teduhnya. Dia memang cewek yang kuat. Walaupun tatapan Andi yang begitu menenangkan, tapi ia sadar betul, bahwa sang paman juga tengah mengkhawatirkan keponakannya. Apalagi melihat sang bibi yang tengah menunduk lesu dengan wajah sedihnya, Cakra benar-benar merasa bersalah. Untung saja Agam tak ada di sini. Jika iyha, bagaimana dengan anak laki-laki itu sekarang? Harusnya Cakra tetap menjaga Erlin walau dengan mengikutinya dari belakang bukan?

***

Erlin mengerjapkan kedua matanya dengan pelan. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Sangat. Dan—dan ia merasa mati rasa dengan tangan kanannya. Kenapa tak terasa begitu sakit? Ia kembali mengerjapkan kedua matanya kembali. Putih. Hanya warna itu yang ia lihat. Argh yah, ia ingat semuanya. Darah, dan kecelakaan itu.

Ceklek

Kepalanya otomatis menoleh mendengar suara derit pintu yang terbuka. Senyumnya ia paksa bertahan begitu melihat ketiga—ralat, keempat orang yang sangat dikenalnya itu tengah berjalan menghampirinya.

“Ada yang sakit?” tanya Andini sembari mengelus puncak kepala Erlin dengan sayangnya.

Semuanya bi. “Erlin enggak papa bi,” jawab Erlin dengan lirihnya.

“Paman enggak pernah percaya kata enggak papanya kamu Lin, dimana yang sakit? Ayo bilang sama paman.” seloroh Andi dengan cepatnya.

Senyum tipis Erlin tampak terlihat setelahnya. “Aku bukan anak kecil lagi paman,” jawabnya tak menyurutkan senyumnya sedikit pun. “Agam mana?” tanyanya kemudian.

“Agam di rumah. Bisa-bisa dia nangis kejer lihat kamu kaya gini Lin,” jawab Andini dengan wajah yang sedikit lebih tenang setelah melihat keadaan keponakannya.

Andi langsung bergerak cepat membantu Erlin yang hendak duduk. “Tiduran aja Lin, nanti badan kamu sakit loh.” saran Andi kemudian.

“Enggak sakit paman, aku enggak papa kok,” jawab Erlin menekankan. “Syukur deh kalau Agam di rumah.”

Keheningan tampak merayapi ruang kamar inap yang tengah Erlin tempati. Semuanya tampak terdiam dengan pikirannya masing-masing. Tapi tak bertahan lama, keheningan itu terpecah begitu terdengar isakan pelan dari seseorang yang sukses membuat keempat orang itu langsung beralih menatap Dira seketika.

“Toa, lo kenapa?” tanya Erlin kaget masih dengan suara lirihnya.

Isakan Dira justru terdengar semakin keras seketika. “Gua tuh khawatir sama lo ibu krani. Kenapa lo bisa kecelakaan gini sih? Ayo bilang siapa yang udah nabrak lo, biar gua gebukin itu orang sekarang juga.”

Tangan Erlin refleks langsung mengusap-usap bahu Dira yang sekarang sudah bertengger manis di pangkuannya. “Udah ish, kaya anak kecil deh Dir. Gua enggak papa ish. Lagian yah, gua tuh jatuh bukannya karena ada yang nabrak Dir,”

“Terus kalau gitu kenapa coba?” tanya Dira dengan mata memerahnya.

Dengan berat hati, akhirnya Erlin menceritakan segala kronologisnya. Mulai dari dilihatnya darah mengerikan itu yang justru membuatnya berujung di rumah sakit.

***

Kedua insan itu tak sedikit pun membuka mulutnya saat ini. Erlin yang sibuk memainkan jari-jarinya hingga jengah, dan Cakra yang tak hentinya mengembuskan napasnya dengan pelan. Dan hal itu, sungguh membuat Erlin lelah sendiri.

Dira dan paman bibi Erlin sudah keluar sedari tadi. Berhubung hari sudah beranjak malam, jadi Dira berpamitan pulang. Sedangkan pamannya tengah mengantar Andini pulang untuk menjaga Agam. Dan hanya dengan Cakra lah Erlin tengah menghabiskan waktunya saat ini. Berdua. Iyah, hanya berdua.

“Ra—“

Kalimat Erlin langsung tejeda seketika begitu mendapatkan pelukan mendadak dari seorang Cakra. Wait, Cakra, memeluknya? Tak salah lihatkah Erlin saat ini?

Mendadak debaran tak menentu itu Erlin rasakan sekarang. Tubuhnya terasa menegang untuk beberapa saat. Dan lidahnya terasa kelu hanya untuk menyuruh Cakra melepaskan pelukannya.

“Jangan bikin khawatir gua lagi. Gua enggak mau lo kenapa-napa. Kenapa lo keras kepala banget sih Er? Gua kan udah bilang pulang sama gua, kenapa lo ngotot banget pulang sendiri sih? Harusnya tuh gua tetep ngikutin lo dari belakang, tapi gua telanjur kesel sama lo. Lo enggak mau diperintah. Lo tetep krani gua yang maunya menang sendiri. Gua khawatir Er. Gua khawatir enggak bisa lihat lo lagi setelah tahu truk itu bisa-bisa aja jauhin lo dari gua. Jangan bikin khawatir gua lagi Er,”

Speechless.

Erlin tak mengerti harus mengatakan apa sekarang. Ia benar-benar tak bisa berkata-kata. Harusnya dia merasakan kesal bukan karena Cakra sudah menyalahkannya? Dan harusnya dia merasakan bahagia bukan karena entah kali ke berapa inilah Cakra mau mengucapkan kalimat panjang belibetnya hanya untuk seorang Erlin?

“R—Ra,” panggil Erlin terbata-bata.

Cakra langsung menurukan kedua lengannya yang masih memeluk erat Erlin dengan perlahan. “Gua khawatir sama lo.”

Erlin langsung gelagapan seketika. “Gu—gua tahu. Gua enggak kenapa napa, jadi lo enggak perlu khawatir ok,”sahut Erlin mencoba menenangkan.

Badan Erlin terasa tersetrum begitu merasakan tangan kekar Cakra mengelus pelan punggung tangannya. “Gua khawatir lo bakalan sedih kalau tahu pergelangan tangan lo patah Er,”

“Apa?” tanya Erlin dengan spontan.

“Gara-gara tertindih stang motor, pergelangan tangan lo patah Er. Untuk sementara waktu, lo harus pakai tangan kiri lo aja.” jawab Cakra dengan hati-hati.

“Ra, gu—gua—“

Cakra langsung menghapus setetes air mata yang berhasil jatuh membasahi pipi Erlin. “Sssst, lo enggak perlu sedih. Gua masih di sini. Lo akan baik-baik aja kan?”

Tangis Erlin langsung pecah setelahnya. Hati Cakra rasanya semakin terasa sakit begitu melihat Erlin—untuk pertama kalinya menangis di hadapannya. Ia, ikut merasa sakit. Tanpa terasa, tangannya sudah beralih mengusap punggung Erlin yang sudah berada dalam dekapannya—menenangkan Erlin.

***

Aduh, kok pendek banget yah?

Hitung-hitung sekedar melepas rindu kalian pada Erlin yang lagi berduka dengan kondisinya yah. Daripada enggak up kan yah?

Gimana sama part ini?

Sama seperti Erlin, tetap tunjukkan senyum bahagiamu yah.

Lanti😘

Erca (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang