Chapter 14 - Berbeda

955 49 10
                                    

Kata Zivilia, marah itu tandanya sayang. Terus kalau kamu apa coba?
~

Pernah enggak sih kamu merasa bahagia tanpa tahu apa sebabnya? Mendadak jadi bahagia aja gitu. Padahal sih, kata orang enggak ada yang aneh. Tapi anehnya, bagi kita itu terasa membahagiakan. Seperti Erlin saat ini. Entah dirasuki penghuni mana yang membuatnya tak berhenti menghentikan senyumnya sejak kemarin. Ingat—SEJAK KEMARIN. Pegel bener dah itu bibir senyum-senyum mulu.

“Woy.” teriak Gavin dengan lantangnya.

Mendengar teriakan itu, sontak saja Erlin langsung terkejut seketika. Ingatkan Erlin untuk menggeplak Gavin nanti. “Astaghfirullah kak, salam dulu.” ucap Erlin kemudian.

Gavin langsung nyengir seketika. “Assalamu’alaikum penghuni surga—eht jangan, penghuni hati kakak aja deh ya,” sahutnya terkekeh kecil. Bukan hanya Gavin, tapi para pengikutnya juga langsung terkikik geli setelahnya. Eht pengikut? Erlin langsung membelakakkan matanya seketika begitu melihat gerombolan entah siapa itu sudah nangkring di depan rumahnya—lengkap dengan motor gedenya itu. Ahh yah, jangan lupakan pakaian serba hitam seperti orang mau melayat itu.

“Eht eht, ini mau tawuran apa gimana sih? Astaga Kak Gavin, jangan bikin ribut di rumah orang deh. Nanti gua digebukin warga elah,” pekik Erlin tanpa menjawab salam Gavin yang ewww—berlebihan.

“Jawab dulu salamnya Ibu Krani,” peringat Dira yang entah darimana munculnya itu.

“Eht, Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatu,” jawab Erlin seketika.

“Tenang–tenang. adikku yang cantik tapi gilanya nggak sembuh–sembuh, kita enggak mau tawuran kok. Mau ngajakin refreshing ini. Cepet gih siap–siap, kakak tunggu nih,” ucap Gavin selanjutnya.

Refleks, ia langsung menarik Erlin untuk bangkit dari duduknya dan mendorongnya masuk ke dalam rumah.

Bukan Erlin namanya jika ia langsung menurut seketika. Masih dengan badan yang didorong–dorong, Erlin langsung menolehkan kepalanya ke belakang—yang otomatis langsung membentur dada bidang Gavin seketika. “Ish, mau kemana sih? Kok enggak bilang dulu,” protes Erlin kemudian.

Gavin langsung menurunkan tangannya yang masih melekat sempurna di kedua bahu Erlin. “Surprise dong. Cepet gih sana,”

Akhirnya, dengan perasaan dongkol yang kelewat terpaksa, Erlin pun langsung bergegas menaiki tangga menuju kamarnya untuk bersiap–siap. Tanpa Erlin ketahui, sesuatu yang ‘tak baik’ tengah bersiap–siap menerpa dirinya.

***

Entah kemana lagi Cakra harus mencarinya. Meja belajar yang sudah berantakan. Isi nakas yang entah berhamburan kemana. Dan segala laci telah diobrak–abriknya. Tapi sayangnya, tak sedikit pun Cakra melihat selembar kertas—yang teramat penting bagi dirinya.

Entah sudah berapa kali ia berdecak tidak sabaran saking kesalnya. Diingat–ingatnya lagi di mana terakhir ia meletakkan kertas penting itu.

Sial.

Cakra ingat sekarang. Dengan secepat kilat, ia langsung menyambar kunci motor dan jaket miliknya dan melaju ke tempat di mana ia bisa menemukan kertas itu—mungkin.

Tapi, entah harus marah ataupun kesal Cakra sekarang. Seseorang, yang tengah dicarinya—yang mungkin tahu keberadaan kertas itu entah sedang pergi kemana.

“Oh non Erlin, lagi pergi den,” jawab Bi Inah dengan lembutnya sembari mempersilahkan Cakra untuk masuk ke dalam. Tapi dengan sopan, Cakra menolaknya dengan alasan sedang terburu–buru.

“Kalau boleh tahu, pergi kemana bi? Sama Dira?” tanya Cakra penasaran.

Walaupun ia tak begitu dekat dengan kraninya itu, tapi ia paham betul jika Erlin bukan tipe cewek yang sering nongkrong di mall, ia pasti akan lebih memilih duduk manis dengan seabreg cemilan ditemani film kesukaannya. Yah, sudah sehapal itu Cakra.

Erca (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang