Chapter 12 - Kesekian Kali

1.1K 56 4
                                    

Membangun pionering saja butuh latihan berkali-kali hingga bisa berdiri tegak. Lalu, haruskah hati ini tercabik berkali-kali untuk membuatnya berdiri tegak tanpa goyah sedikit pun?

~

Ketegaran hati setiap manusia pasti berbeda-beda. Begitu juga kesabaran yang dimiliki setiap manusia. Tapi dalam Pramuka, Erlin diajarkan untuk selalu tegar dan selalu sabar dalam hal apapun. Terlebih, saat pengujian. Banyak rintangan serta cobaan yang pastinya menguji ketegaran dan kesabaran para anggotanya. Dan hal itu tentu saja bisa mereka lalui dengan mudah. Karena apa? Keluarga.

Erlin punya keluarga sendiri dalam Pramuka. Erlin punya tempat tersendiri yang bisa menampungnya kala ia ingin mengeluh kesahkan semua lelahnya. Erlin punya rekan yang akan selalu membimbingnya jika ia kehilangan arah. Dan tentu, Erlin punya teman disaat ia merasa kesepian tanpa teman. Hal itu bisa terwujud juga karena satu, Pramuka.

Lalu, bisakah Erlin melalui cobaan yang berat ini tanpa rekan-rekan pramukanya? Bisakah ia melalui rintangan ini tanpa bantuan rekan-rekan pramukanya? Erlin—ragu. Ia sendirian sekarang, bukan bersama rekannya yang akan sedia setiap saat untuk membantunya. Erlin—tak bisa. Ia tak mungkin bisa menceburkan rekannya dalam masalah pribadinya yang tentu saja bersifat privasi. Tapi, Erlin butuh sandaran. Ia butuh penopang dikala hati serta pikirannya terasa lelah. Dan tentunya, Erlin butuh teman untuk mengalihkan segala kegelisahan nan kegundahannya.

“Non,” panggil Bi Inah membuyarkan lamunan Erlin. Refleks, ia langsung menolehkan kepalanya ke arah Bi Inah.

“Iyah bi, kenapa?” tanya Erlin dengan sopannya. Walaupun Bi Inah hanya pengasuh serta orang yang bertanggung jawab mengurus rumahnya, tapi Erlin sudah menganggapnya seperti ibu sendiri. Yah, apalagi semenjak 2,5 tahun ini. Erlin jelas-jelas membutuhkan sosok ibu dalam hidupnya. Persetan dengan umurnya yang beranjak dewasa, karena nyatanya Erlin juga butuh sosok ibu saat keadaannya seperti ini.

Bi Inah tampak gelisah di tempatnya berdiri sekarang. Ia jelas-jelas menautkan kedua tangannya tanda gugup. Ia bahkan kerap kali menghindari tatapan Erlin yang jelas-jelas memandangnya dengan kening berkerut. “Hmm—itu non,” jawab Bi Inah dengan terbata. “Tadi bapak ke sini.” ucapnya pelan seperti berbisik.

Deg

Tentu saja Erlin mendengar kalimat itu. Walaupun Bi Inah mengucapkannya seperti berbisik, tapi jarak duduknya yang tidak terlalu jauh dari tempat Bi Inah berdiri tentu saja membuatnya mudah mendengarkan segala ucapannya. Lalu, apa tidak salah yang ia dengar tadi?

“S—saya mau ngelarang bapak buat masuk tapi enggak enak non. Walaupun begitu dia tetep Ayah kandung dari non dan den Agam. Lagipula, den—den Agam juga kelihatan seneng lihat bapak. Apalagi setelah bapak dateng kemarin.” jelasnya.

“B—bi,” ucap Erlin tergagap. Erlin tak menyangka jika ‘dia’ akan nekat seperti ini. Erlin pikir ‘dia’ hanya menggertaknya saja. Tapi apa? Tak sedikit pun larangan Erlin ‘dia’ pedulikan. Sialan.

“Ma—maaf non, bibi lancang. Bibi enggak tega sama den Agam. Dia juga perlu kenal sama bapak.” lanjut Bi Inah masih dengan menundukkan kepalanya.

“Bi—“

“Kak Elin.” suara parau khas bangun tidur itu langsung menginterupsi kalimat Erlin yang belum selesai.

Refleks, Erlin langsung menoleh ke arah Agam yang tengah berjalan menuju ke arahnya. Melihat majikan kecilnya tengah mendekat, Bi Inah sontak saja langsung mengundurkan diri. Bi Inah tahu, Erlin butuh waktu untuk mencerna—juga menyadari semuanya.

“Udah bangun?” tanya Erlin dengan lembutnya.

“Agam mau tidur sama Kak Elin.” jawab Agam sembari mencari posisi ternyaman dalam pangkuan kakaknya itu.

Erca (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang