Chapter 21 - Dia

869 55 16
                                    

Tak perlu menjadi api unggun untuk menghangatkan, cukup jadi bintang yang selalu setia menemani bulan di setiap malam.
~

“Nunduk ihh,” perintah Erlin sembari menggerak-gerakkan tangannya di hadapan Cakra.

Tak hanya Cakra, tapi rekan pramuka yang lain pun merasa bingung mendengar perintah Erlin yang terdengar ambigu. Tapi lain dengan Fendi, ia langsung beralih merendahkan bahu Cakra hingga tingginya sejejar dengan Erlin.

Bukannya Cakra yang blushing, tapi justru rekan pramuka—juga juniornya yang langsung memekik tertahan melihat Erlin yang membenarkan baret Cakra yang agak miring.

Percayalah, Cakra benar-benar menahan sudut bibirnya untuk tidak tertarik ke atas hingga bergetar pelan seketika. Astaga, sebenarnya ada apa dengan krani cerewetnya ini coba? Kenapa dari kemarin terus saja menguji Cakra tanpa hentinya? Tahan Cak, tahan.

“Aduh Lin, kok gua yang salting gini sih yah,” ledek Putra dengan muka yang digemas-gemaskan.

Erlin langsung menolehkan kepalanya ke arah lain untuk menghindari ledekan berlanjut Putra apabila melihat senyum tertahan di bibirnya. Astaga, kenapa Erlin jadi keblabasan membantu Cakra di depan banyak orang gini sih? Setelah senyumnya tak lagi nampak, Erlin langsung beralih menatap Cakra yang sedang cepat-cepat mengalihkan perhatiannya begitu matanya bertubrukan dengan kedua manik Erlin. Sumpah, kok lucu sih.

“Udah si pandang-pandangannya, enggak malu apa dilihatin Caba gitu heh.” seloroh Fendi sembari melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Erlin.

Erlin langsung menepis tangan besar Fendi seketika. “Tangan lo bau.” dustanya sembari menutup lubang hidungnya seketika.

Fendi langsung menjitak kening Erlin seketika. “Ye, songong. Bilang aja ganggu lagi lihatin Cakra.” tebaknya asal.

“Huh, bener Fen. Lo gangguin aja tahu enggak.” ucapnya sembari menyusul rekan-rekannya yang sudah berada di dekat Cakra.

“Tuh kan. Bilang aja—“

“Lo enggak kenapa-napa kan Ra? Enggak jadi sakit kan?” tanya Erlin beruntun begitu mengingat kejadian bersama Cakra kemarin.

Cakra lansgung melotot seketika. “Enggak lah.” jawabnya sewot. Astaga, Erlin ini benar-benar tidak peka atau gimana sih? Kalau yang lainnya curiga gimana coba?

“Ya udah sih enggak usah nyolot. Siapa tahu aja kan,” sahut Erlin dengan muka cemberutnya.

“Emang ini anak kenapa?” tanya Fendi penasaran sembari menunjuk-nunjuk wajah Cakra dengan jarinya.

Cakra langsung menepis jari Fendi yang teracung-acung di wajahnya itu seketika. “Enggak penting.”

Fendi juga Erlin langsung terkekeh seketika melihat wajah gugup Cakra yang tak biasa itu. Memang pradananya ini benar-benar langka.

***

Biasanya, hanya suara berisik Agam yang menghangatkan rumah Erlin, tapi sekarang rumahnya sudah seperti markas baru anak-anak pramuka yang begitu bisingnya. Tapi anehnya, Erlin bahagia. Bukankah biasanya ia hanya bisa melihat kesunyian di dalamnya, tapi sekarang—ia bisa melihat kebahagiaan yang tersebar dalam lingkup rumahnya ini. Argh, betapa beruntungnya Erlin bisa memiliki rekan yang bisa menularkan kebahagiaan seperti ini.

“Kayaknya rencana kita berhasil deh Put.” Sayup-sayup, Erlin bisa mendengar kalimat itu saat tengah berjalan menghampiri rekan-rekannya yang sibuk bercanda satu sama lain.

“Iyhalah, kalau enggak kenapa mereka bisa jadi deket gitu lagi coba? Lagian gua tuh bingung deh, itu dua orang hubungannya apaan sih? Deket-deketnya kok ada yang kurang pas gitu loh,” sahut Putra setengah berpikir.

Erca (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang