32)•DevAn - Yang Terjadi Dengan Deven

6.1K 373 157
                                    

Seluruh Nafas Ini - Last Child feat Giselle

"Jika hadirmu bermaksud untuk pergi, lebih baik aku tak pernah mengenalmu seumur hidupku."

***

Selepas masuk ke dalam ambulans, Anneth tak berhenti menangis histeris melihat Deven yang sudah dalam kondisi tak sadarkan diri dan penuh aliran darah di kepalanya.

Ada rasa takut yang terus menghantui Anneth. Ia takut kehilangan seseorang yang ia sayangi untuk kedua kalinya. Kejadian di depan matanya tadi mengingatkan kepada ibunya. Sungguh tak beruntung Anneth pada saat itu.

Tangan Anneth masih terus menggenggam tangan Deven. Ia menatap kedua mata Deven yang kini tertutup. Air matanya terus berlinang membasahi pipinya, membuat pelupuk matanya mulai membengkak.

"Deven, kamu kenapa lakuin itu! Inikan akibatnya, aku nggak mau kamu kenapa-napa," raung Anneth hiateris.

Joa tak tahan melihat sahabatnya itu terus menangis seperti ini. Joa mengelus kedua bahu Anneth, walaupun sebenarnya tak memberikan efek apapun.

"Kalau kamu cinta, kamu nggak akan pergi. Jangan pergi.." lirih Anneth serak, suaranya melemah, tangisannya semakin menjadi-jadi.

Tangan Anneth bergerak mengelus rambut Deven, menatap wajah pria itu dengan sangat tulus. Berharap pria itu membuka matanya dengan kondisi baik-baik saja.

Anneth menyeka air matanya, kemudian kedua tangannya menggenggam tangan kanan Deven lagi, mengelusnya perlahan.

"Deven ... Aku juga suka, bahkan cinta kamu. Aku memang munafik, membohongi perasaanku sendiri. Aku ... Aku..." Anneth tak kuasa menahan air matanya untuk kembali turun ke pipinya. Ia menciumi tangan Deven.

"Aku minta maaf..." lalu Anneth semakin menangis tersedu-sedu.

Joa merengkuh tubuh Anneth, membawa ke dalam pelukannya. Ia ikut menangis. Joa masih berusaha menenangkan Anneth, karena melihat Anneth seperti ini membuat Joa merasa sakit.

"Udah, Neth, gue nggak tega lihat lo gini," ujar Joa dengan suara serak."Lo tau kan Deven itu orangnya kuat, dia pasti nggak papa," tambahnya.

Anneth mengeratkan genggamannya di tangan Deven. Hatinya semakin sakit saja. Saat ini Anneth merasakan trauma itu lagi, trauma kehilangan seseorang yang sangat ia sayangi.

"Jo, aku nggak mau Deven bakal kaya ibu, aku mau Deven tetap kaya dulu. Deven yang membuat ku melupakan kesedihan akibat perginya ibu. Tapi sekarang? Aku nggak akan pernah rela kalau dia bernasib sama seperti ibu." Anneth menangis sesenggukan.

"Iya gue ngerti, tapi jangan nangis sia-sia, Neth. Gue tau lo takut, gue tau lo khawatir, lebih baik lagi kalau lo berdoa. Gue nggak suka ngeliat lo gini." Joa menyeka air mata Anneth.

Anneth melepaskan pelukannya, ia beralih kembali ke Deven. Kedua manik matanya menatap sendu ke wajah Deven, tangan kirinya mengelus pipi kanan Deven, dan tangan kanannya masih setia menggenggam erat tangan Deven.

"Kalau kamu datang hanya untuk pergi, lebih baik nggak usah, Dev." Anneth menggigit bibir bawahnya, menahan tangis nya yang akan lebih pecah.

Sulit bagi Anneth untuk menghentikan tangisnya. Anneth tak kuasa melihat Deven yang terbaring dalam kondisi seperti ini. Anneth bergerak memeluk tubuh Deven, tetapi tak melepaskan genggaman tangannya.

"Kamu harus bangun, untuk aku, Deven!" Anneth menekan ucapannya.

"Harus, itu, harus!" tambahnya lalu mencium punggung tangan Deven.

***

Petugas mendorong bed pasien yang sudah keluar dari ambulans untuk segera memasuki rumah sakit. Anneth masih terus menggenggam tangan Deven, ia mengikuti kemanapun petugas akan membawa Deven. Sementara itu, Joa masih setia berada di samping Anneth.

DevAnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang