LIMA BELAS : Hancur

4.2K 169 6
                                    

Now playing :
Shawn mendes - stitches

****

Sudah beberapa minggu aku melewati hari tanpa ekspresi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sudah beberapa minggu aku melewati hari tanpa ekspresi. Mungkin itu sebagian kematian dalam jiwaku. Hasrat untuk menyukai seseorang tidak lagi ada. Yang aku lakukan hanyalah belajar dan belajar. Aku tidak akan berbicara jika tidak ada yang mengajakku berbicara. Aku tidak akan bertanya jika tidak ada hal yang benar-benar mendesak. Inilah Devara sebenarnya. Pendiam dan dingin.

Setiap hari Chelsea dan Dea mengelus dada melihatku. Tidak satupun mereka yang tahu apa yang terjadi denganku. Setiap hari juga aku mengalami perkembangan nilai yang pesat. Apakah menyukai seseorang bisa mempengaruhi cara kerja otak?

"Devara, kantin yuk?" Aku menatap Chelsea yang sedang mengeluarkan dompet abu-abunya. Aku menggeleng tegas.

"Kamu kenapa sih? Aku capek tau liat kamu kayak gini. Kamu gak mau cerita sama aku?" Aku tersenyum tipis dan menjawab,"Gak sekarang." Dia terlihat sangat kecewa setelah mendengar jawabanku. Aku tahu jika kecewanya adalah hal pertama kali karena aku.

"Aku ke kantin sama Dea ya? Kamu mau nitip?" Aku menggeleng lagi. Semestaku hampir hancur. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki kerusakan semestaku. Tidak. Aku tidak berlebihan hanya karena Deva. Ini menyangkut hal lain.

Malam itu, pertama kalinya aku melihat papa dan mama bertengkar hebat. Aku tidak tahu mereka berdebat tentang hal apa. Yang pasti, aku tahu jika itu bukanlah masalah yang biasa. Sesak dan hancur. Aku ingin menumpahkan semua perasaanku saat itu juga, tetapi tidak bisa karena kak Brey belum pulang. Jika aku ingin melampiaskan emosional, biasanya aku melampiaskannya kepada kak Brey.

Aku menatap ke arah luar kelas, terik matahari benar-benar terlihat menyilaukan. Tanpa sengaja, aku menatap manik mata Deva yang sedang menatap ke arahku. Terkadang, hanya karena saling menatap. Aku merasa ingin sekali menetap.

Dua hari bersama Deva yang cukup bisa membuat impianku tercapai. Hanya dua hari, lalu musnah karena beberapa kata yang keluar dari mulut Deva. Sebenarnya, dia memang ada atau aku yang hanya mengada-ngada? Semakin ingin menjauh, semakin nyata rasa sayang.

"Deva, kok di depan sih? Ngapain?"

"Nungguin kamu lah, yang."

Aku memalingkan mukaku ke arah lain. Tidak mau melihat apa yang tidak ingin aku lihat. Aku mengeluarkan hpku dari dalam sakuku, takut jika ada sesuatu yang terjadi.

Kabeys
Mama pingsan
Sekarang di rumah sakit

Kekhawatiranku terjadi. Aku mengemasi semua barang-barangku,kemudian menggendong tasku sambil keluar dalam kelas. Aku menelpon om Damar untuk meminta ijin langsung karena aku tidak bisa pergi ke ruang BK.

"Devara, kamu mau kemana?" Aku menghentikan langkahku tepat di depan mereka bertiga. Aku melirik Deva sekilas,"Sedikit masalah. Duluan ya,"kataku.

Aku berlari melewati koridor-koridor kelas sambil menghapus air yang jatuh dari mataku. Pikiranku saat ini hanya satu ;Mama. Entah dengan apa aku sampai di rumah sakit, intinya aku akan mengikuti langkah kakiku.

"Devara. Gue anter."

"Gak usah. Aku bisa sendiri."

"Lo kenapa sih jadi berubah?"
Langkahku terhenti sesaat setelah mendengar ucapan Deva.

"Lo tersinggung gara-gara ucapan gue di rumah? Lo suka sama gue?" Lidahku benar-benar terasa kelu, badanku membeku, air mataku kering. Aku berbalik ke arahnya,"Kalo iya kenapa?" Giliran dia yang diam. Keberanian darimana yang aku dapatkan hingga mengatakan hal seperti itu langsung di depannya.

"Gue----"

Aku meninggalkan Deva yang masih berada di depan pos satpam. Aku lelah menahan semuanya. Bertahun-tahun aku menyimpan rasa, tidak sedikitpun dia mengerti. Lalu, untuk apa terus dipendam? Toh, itu juga tidak penting.

****

Aku berhasil mencapai rumah sakit dengan jalan kaki selama 25 menit. Mengapa aku tidak memesan ojek online saja? Aku tidak memiliki ruang yang cukup untuk mengunduh aplikasinya. Jika masih kuat berjalan, mengapa harus naik transportasi?

"Kak, mama gimana kak? Mama kenapa? Mama gapapa kan?"tanyaku. Kak Brey mendekapku dengan erat seolah merasakan apa yang tengah aku rasakan saat ini. Air mata yang semula mengering, kini menjadi mengalir kembali dengan lebih deras. Masih dengan memakai seragam dan menggendong tas di pinggung, aku menangis di dalam pelukan kakak.

"Dokter menemukan bekas luka di wajah mama. Kakak gak tahu apa yang terjadi sebelumnya, kakak cuma tahu mama pingsan saat kakak baru saja pulang." Apalagi ini semesta? Kau ingin mengujiku? Kau ingin menambah beban hidupku? Mulai saat ini, aku membenci seorang laki-laki yang dulu sering aku panggil 'papa'. Aku membencinya.

"Mama kalian kenapa?" Aku menatapnya dengan penuh amarah. Aku menghapus kasar sisa air mataku.

"Papa puas sudah menyakiti mama? Papa puas hahh? Pah, Devara memang tidak tahu mengapa kalian berdua selalu saja bertengkar, tapi bukan berarti papa bisa nyakitin mama kan? Hati papa dimana sih? Anak papa juga cewek."

"Devara, papa tidak pernah menyakiti mama kamu sedikitpun. Jika kamu tidak tahu apapun, diamlah!"

"APA? APA YANG DEVARA TIDAK TAHU? Devara butuh penjelasan."

"Kami berdua bertengkar karena itu kesalahan mama kamu sendiri. Setiap hari, setiap hari papa marah kepada mama karena mama kamu tidak pernah menghargai papa lagi."

"Pinter banget papa ngomongnya. Ngarang darimana pah?"

Plak
Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipiku.

"Papa nampar Devara?"

"Maaf, nak. Papa tidak se----"

"Pah, lebih baik papa pergi darisini. Brey mau nenangin Devara dulu."

Pandanganku mendadak berkabut dan darah segar mengalir dari hidungku. Aku menutup mataku pelan dan merasakan sakit yang hinggap di kepalaku hingga aku tidak bisa merasakan apapun lagi.

"Devara." Hanya kata itu yang terdengar di telingaku, lalu aku tidak mendengar apapun lagi.

Bolehkah aku menghilang sementara dari bumi? Bolehkah aku memilih untuk reinkarnasi menjadi bintang saja? Aku terlalu lelah menghadapi masalah seperti ini. Oxford, mama, Kak Brey, Deva, dan sahabatku yang lainnya---apakah aku masih bisa ?

 Oxford, mama, Kak Brey, Deva, dan sahabatku yang lainnya---apakah aku masih bisa ?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DEVA & DEVARA ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang